tombulu minahasa raya bangsa minahasa vs spain penolakan raja
spanyol vs tombulu1644 & damai dimasa depan apeles house global21
prang tombulu minahasa raya vs spanyol 1644/45
whit guest from spanyol portugis prancis belanda mahasiswi akper apelez house & famely good day be blessed
itenery
many place in tomohon and famely farm jalan kinilow kali dan kisah dark tourism minahasa raya vs spanyol highlight kisah pendek ...
https://m.facebook.com/groups/1443253529406611/permalink/1452171465181484/?mibextid=Nif5oz
nuansa minahasa sebelum perang 1644/45 by pastor frangky eky rengkung riset to 1639-1644
https://www.facebook.com/groups/638511343649642/permalink/755029348664507/
tombulu minahasa vs spanyol1644& damai dimasa depan apelez house
kisah pendek ( in memo diskusi terakhir 2021 deng tpe narsum andalan om yan pusung kinilow yang hobby kisah sejarah minahasa dan juga minahasa treasure hunter mar so rest in jesus love 2021 )...rupa ini..itu prang menurut om yan ada juga yg spanyol tampeleng ke masih keluarga torang ( mungkin kerabat di polakitan yang waktu itu banyak marga polakitan disekitar gereja katholik saat ini sbab saat itu gereja rk menghadap jalan utara dan rumah family oma muka greja rk ) yang waktu itu pejabat walak di kinilow adapun kisah umum ketika spanyol datang mau mengangkat salah satu keturunan portugis spanyol tombulu minahasa di tombulu untuk jadi raja atas seluruh minahasa raya,hal ini di tentang majelis tua tua tombulu minahasa dan ukung lumi yang menegaskan di minahasa tombulu tidak ada system raja ,di minahasa bersystem walak2 negeri2 mandiri dengan masing2 kepala suku,kepala negeri,hukum tua, namun mempunyai wadah rapat bersama untuk menentukan keputusan bersama sebagai satu kesatuan walak bangsa ,persatuan yang bernama minahasa minaesa...kronology nya...di awali dengan kedatangan komandan spanyol dan pasukan ke wilayah tombulu beserta keturanan mix portugis spanyol tombulu minahasa untuk di jadikan raja minahasa,sepertinya pertemuan mereka dan yang mereka temui adalah ukung lumi dari tombulu ..namun ketika mereka menemui ukung lumi dan tua2 tombulu minahasa dan mengutarakan maksud untuk mengangkat raja minahasa di depan ukung lumi dan tua tua..dengan tegas ukung lumi menolaknya..penolakan ini memicu pimpinan spanyol untuk bertindak dengan memaksa ..hingga puncaknya menampar ukung lumi...prilaku penamparan ini tidak bisa di terima ukung lumi dan tua tua tombulu minahasa dan meneriakan pekikan perang ...kegaduhan mungkin terjadi kemudian dimana terjadi prang terbuka ,pasukan spanyol dan tombulu minahasa adapun sepertinya pasukan spanyol kalah dan harus lari ke 2 arah yg pertama lewat jalan kurutung namun di cegat di area kebun empung dan yang lain turun ke kali dan di cegat di kali ..berita penamparan dan perang makin cepat meluas ke seluruh minahasa...para waraney dan pasukan2 di sub sub walak se minahasa mulai mempersiapkan perang...hingga di wilayah lotta pineleng banyak spanyol yg harus lari ato ber perang atau di cegat seperti di situs batu pinantik kali di mana terjadi kisah spanyol vs tombulu minahasa dengan korban yang tidak di sangka yakni pastor ilranzo ofm menjadi martir....namun sepertinya di wilayah tombulu sudah ada pastor juga yang kemudian atas perintah ukung lumi di selamatkan di sembunyikan di rumah ukung lumi ( mungkin juan ilranzo atau pastor ofm yang lain ) yang kemudian di hantar turun ke tanahwangko atau kembes untuk ke filipina... dengan demikian rencana spanyol untuk mengangkat raja minahasa di tombulu yang kemudian di tolak keras ukung lumi tombulu yang tidak menerima adanya raja di minahasa tombulu sehingga memicu pertikaiyan.. site awal tomohon mungkin sekitar kinilow kalasakasen yang menyebar di minahasa kali tinoor dan kemudian ke seluruh minahasa dengan para waraney nya...adapun sayang nya yang menjadi korban tidak di sengaja justru juga ada beberapa pastor salah satunya lorenzo garalda 1644 site pinantik kali...namun ada juga yang selamat dan menghindar ke filipina...sebab di minahasa hampir semua pasukan spanyol dll sudah di kalahkan perserikatan minahasa yang juga menjadi suku bangsa pertama di dunia yg bisa mengalahkan spanyol di abad 16 di saat kekuatan spanyol sangat kuat....
spanyol sering keliru memahami system minahasa yang bersifat kepala suku bulam system kerajaan dengan meyamaratakan dengan system raja raja spanyol di mana hal ini juga yang akhirnya menjadi upaya spanyol untuk angkat raja dari minahasa namun di tolak ukung lumi dan para tetua tua minahasa raya lainya memunculkan perang minahasa spanyol).
trecking story spanyol vs tombulu minahasa
1.ragam kisah di rukun kel runtulalo kinilow kali tentang kisah watu pinantik kali dan prang spanyol vs tombulu minahasa
2.ragam kisah di mana mana tentang prang tasikela spanyol tombulu minahasa raya
3.kisah terakhir yg di ceritakan pade om yan pusung polakitan 2021 tentang tentara spanyol pernah menampar salah satu pemimpin walak kinilow jaman dulu yg ada taranak dari oma panjang polakitan dan tentara spanyol yg banyak kalah di jalan tua menuju manado di kurutung empung
my trecking story
abad 15 portugis masuk juga dengan ordo karmel sampai ke tombulu kinilow raya dengan kisah wurik campuran antara portugis dan minahasa ..mungkin salah satu keturunan nya yg sudah portugis minahasa menjadi kerabat atau justru adalah bagian keluarga ukung lumi yang di abad 16 ketika spanyol masuk dan ordo ofm jesuit masuk mendapatkan ruang di rumah ukung lumi di selamatkan terhindar dari perang spanyol vs tombulu minahasa...dan mungkin juga justru person individu yang akan di jadikan raja minahasa dari sub suku tombulu justru kerabat taranak deng keluarga besar ukung lumi dan wurik portugis ...dengan demikian spanyol meng anggap dengan mengambil anggota keluarga taranak ukung tombulu maka akan mempermudah proses pengangkatan raja minahasa...namun sayang rencana ini gagal sekalipun mungkin calon raja minahasa ini masih kerabat ukung tombulu minahasa namun tetap saja ukung tombulu dan rapat para tua tua menolak ini ,hal ini sehingga memicu pertengkaran penamparan dan perang awalnya di tombulu dan menyebar keseluruh minahasa raya dengan hasil kekalahan spanyol di minahasa ...adapun ukung lumi sepertinya tempatnya rumah nya sekitar gereja katholik kinilow dan bisa saja sesudah prang spanyol keluar dari minahasa dan pastor ofm selamat ke filipinan ,mungkin ada salah satu taranak atau keluarga ukung lumi yang sudah menganut rk katholik dimana hal ini terus terpilihara hingga sampai pada oma panjang polakitan di mana dia sangat tinggi mirip eropa dan dari keluarga katholik rk yang keras dan rumahnya tepat di depan gereja katholik kinilow saat ini...hingga di 2021 om yan menceritakan kisah ini..
MOMENTUM SEJARAH MINAHASA.
TEPAT HARI INI, 10 AGUSTUS 1644,
TERJADI PERTEMPURAN MINAHASA MELAWAN SPANYOL
my video on youtube apelez house tourism trip kinilow - kali perkebunan dst dll tourist spanyol,portugis,prancis,belanda
https://m.youtube.com/watch?v=8BzzkW0YQdo
http://tomohonhomestayapelezhouse.blogspot.com/2016/09/the-filosofi-it-wassimpel-have-know-and.html?m=1
note by me,om bode.t, valry prang dan ragam sumber...good day be blessed enjoy the story...
Beberapa kesaksian & Ilustrasi gambar peristiwa tersebut
memang rata rata orang spanyol pasca 1644 lari ka pulau diluar minahasa misal sangihe talaud ato filipin dst dll dari minahasa mar...ada yg so kawin mengawin di kinilow deng spanyol dorang depe mestizo yg so jadi bagian orang asli minahasa nda katu di apa apa kan...der buktinya ada orang orang kinilow yg rupa seblah tape ortu dorang ada yang katholik dan kuat ba kebun dan perawakan mestizo latin ...kadang kalo datang bule spanyol ato portugis ...kong kt ja se banding deng dorang pe muka kalo baku dapa kt ja tatawa sandiri...der sama mirip mar sama sekali nda baku mangarti bahasa dorang...so sekalipun mungkin ada lah intrik internal tapi pasca 1644 orang orang turunan eropa dan yang dah maso katholik nda di apa apa kan di tombulu sekalipun mungkin ada lah tekanan sana sini tapi...mereka yang turunan tetap selamat begitu juga dengan agama katholik di kinilow.
adapun kisah ini banyak kita dengar pas kalo rukun kali kinilow depe isi nda talalu beda beda amat dengan yg sejarawan ja tulis dan 1 pastor yg slamat juga kalo di kinilow itu dari tape om yan pusung ketua jemaat gmim yerusalem pertama,yang juga suka cerita sebab salah satu hukum tua yang di tempeleng di kinilow itu masih se marga ortu katanya ....dan dari kisah keluarga orang orang di kali untuk pencegatan di kuala kali sebenarnya yang mereka incar hanya prajurit tidak para misionaris yang justru baik dan coba melerai mendamaikan dan justru memperingati para spanyol protugis dst dll untuk menjaga etikat baik pada orang minahasa namun saat karna dalam pencegatan di sungai lembah kali ke adaan yang kacau dan gelap dst dll membuat sukar membedakan orang dst dll yg pada akhirnya para pastor misionaris ikut mati tapi ada yang selamat di selamatkan di seminari kali lota...
btw sedikit sejarah rukun kinilow - kali
untuk my @dark tourism https://www.facebook.com/groups/1443253529406611/?ref=share
World Global Free tourism Center ApeleZ House Minahasa Celebes Indonesia
0852-4010-9300
https://maps.app.goo.gl/MENbLmRaKTjkPpxW6
rukun kali kinilow runtulalo ( whit om buang toli toli...btw just note...rukun ini terbentuk jaman ortu rintis jalan kali kinilow dengan hukum tua kali eli mamuaya yang merintis dari arah kali dan ortu hukum tua kinilow ( hukum tua wanita pertama di tombulu kinilow tomohon dan mungkin salah satu hukum tua wanita pertama di minahasa,merintis jalan dari arah kinilow dan rukun 1995 -2000 ) zaman colonial kali kinilow satu bagian tombulu juga lota wenang dst dll yang kemudian terbagi administrasi di kemudian hari kinilow masuk kota tomohon dan kali,lota masuk minahasa dan wenang manado ...i yayat u santi good day be blessed nice sunday.
kisah kisah sejahrawan enjoy it good day be blessed
Frater/konfrater/padri Lorenzo Garralda, OFM.
Konfater misionaris Katolik dari ordo Fransiskan asal Navara Spanyol Utara, membantu Frater Juan Iranzo OFM yg tinggal di Tomohon (Muung/Nawanua Muung).
Menginjil di Kali - Walak Kakaskasen dan membaptis sekitar 740 orang tua-muda di kampung Kali - Ibukota Walak Kakaskasen. (NB: bekas kampung tua/wanua ure Kali kini berada di selatan Lotta Pineleng. Waktu itu Kali berpenduduk sekitar 1.000 orang di bawah Kepala Walak Wongkar alias Bungkar).
Sesudah insiden2 serdadu Spanyol yg menghina penduduk Minahasa di Pakasaan Tombulu, ia terbunuh sekitar 10 Agustus 1644 dengan cara dipancung kepalanya (oleh para mamuis - pemburu potongan kepala manusia).
Ekspedisi kultural tgl 14 Oktober 2015 (saat libur Hari Raya Tahun Baru Hijriah) kemarin dimulai di Bukit Watu Pinantik - desa Kali Pineleng, lalu ke kompleks kubur Pahlawan Nasional RI Imam Bonjol (1774-1864) asal Minangkabau yg dibuang ke Lotta Pineleng.
Karena ekspektasi tidak sesuai rencana awal karena masalah keterlambatan dlm hal transportasi maka rencana ke waruga-waruga di Kakaskasen Tomohon dibatalkan (a.l. waruga Opo Worang, Rumondor, Mandagi, Lasut, Wurik Sombor alias Wuri Muda, dll).
Perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri waruga-waruga di sepanjang kompleks Kinilow, Kolongan, Matani, dll.
note by om bode.
Perang Minahasa versus Spanyol pecah pada 10 Agustus 1644.
Perang ini terjadi akibat tindakan semena-mena serdadu Spanyol terhadap rakyat Minahasa (Malesung) sehingga masyarakat Malesung murka. Kebencian ini memuncak ketika Kepala Walak Tomohon Lumi ditampar seorang serdadu Spanyol. Mulailah penyerangan yang dilakukan oleh 4 Pinaesaan (=Pakasaan) Malesung (Tombulu, Tonsea, Tondani, Tontemboan) terhadap kedudukan orang Spanyol di seluruh tanah Minahasa, baik sipil maupun militer, termasuk para misionaris Fransiskan Katolik.
Foto: Benteng peninggalan bangsa Iberia di kota Amurang, padri Lorenzo Garralda OFM yang mati martir saat itu, dan Watu Pinantik - sisa peristiwa Perang Minahasa vs Spanyol 1644.
Perjalanan paling melelahkan tgl 14 Oktober lalu yaitu waktu nae bukit Watu Pinantik Kali Pineleng. Basuar milu, nafas hosa, bajalang di kobong kring, tu kuli tabakar karna terik matahari.
Di puncak bukit ada tugu (ex) salib peringatan terbunuhnya padri Lorenzo Garralda bulan Agustus 1644 saat Perang Tombulu/Minahasa-Spanyol bulan Agustus tahun 1643/1644. Perang ini berkecamuk karena orang Spanyol yg diterima dengan tangan terbuka pada akhirnya melakukan tindakan jahat seperti menipu, memeras rakyat, memperkosa wanita pribumi, memaksa orang Malesung (sebutan lama bagi bangsa Minahasa) utk menerima pengangkatan seorang Raja dari Walak Kakaskasen (NB: sistem sosial Minahasa tidak mengenal adanya Raja/Kerajaan), menculik putri Kepala Walak Tomohon, menampar Kepala Walak Tomohon - Opo Lumi.
Di lereng bukit ada sejumlah Watu Pinantik yg bergores dari cakaran para serdadu Spanyol yang bersembunyi dari sekitar 10.000 penduduk pribumi yg memerangi mereka pada bulan Agustus 1643/1644.
ragam sumberr
OKTOBER 1521, sejumlah armada yang memuat orang-orang Spanyol tiba di Tidore. Sebelumnya mereka tergabung dalam musafir penjelajah samudra Ferdinand Magelhaens. Sebagian rombongan kapal Spanyol ini kemudian memisahkan diri dari induknya dan berlabuh di salah satu tempat di Minahasa. Kisah itu digambarkan Hubertus van Kol dalam Uit onze Kolonien, Een Schakelstuk(1903). Catatannya merujuk pada surat Pater Antonius Narta di Maluku yang dituliskan tahun 1588.
J.G.F. Riedel menggoreskan dalam Het Oppergezag der Vorsten van Bolaang Mongondow over de Minahasa (1872) bahwa armada itu telah berlabuh di Kima. Penulis sejarah Minahasa, Hendricus Benedictus Palar dalam bukunya Wajah Lama Minahasa (2009) memperkirakan, kemungkinan besar tempat mereka mendarat adalah daerah Kima Kecamatan Molas Manado kini. Menurutnya, orang-orang Babontehu yang mendiami pulau-pulau di sekitar Manado-lah yang pertama kali berkomunikasi dengan armada Spanyol tersebut.
Orang Babontehu kemudian mengadakan persahabatan, melakukan barter, lalu memperkenalkan kepada pelaut-pelaut Spanyol itu sebuah pelabuhan yang sangat indah yaitu Tumpahan Wenang. Daerah yang tidak jauh dari Kima, lokasi mereka berlabuh. Di situlah muara sungai Wenang, tempat biasa orang-orang membuat garam di bawah pohon. Dari pelabuhan ini, jika menghadap ke barat akan tampak sebuah pulau yang bernama Pulau Manado Tua.
Masyarakat Babontehu memperkenalkan orang-orang Spanyol kepada masyarakat maka tana (pemilik tanah) sebagai orang-orang Tasikkela. Penduduk Tumpaan Wenang itu adalah taranak dari tanah Tombulu. Tapi maka tana tampak acuh tak acuh terhadap orang-orang Spanyol. Karena itulah armada itu berlayar terus ke arah selatan dan mendarat di Uwuren Amurang. Daerah teluk yang indah di Kabupaten Minahasa Selatan kini. Uwuren dijelaskan sebagai tempat orang membuat sagu.
Usai menurunkan awaknya, kapal itu balik kembali ke Tumpaan Wenang. Menanti para penumpang yang tengah melakukan ekspedisi di wilayah pegunungan Malesung. Sebutan untuk Minahasa di zaman itu.
Di Uwuren Amurang, kemudian hari dijadikan benteng oleh orang-orang Spanyol. Dari data yang ada, Palar memperkirakan jika benteng itu dibangun Laksamana Spanyol Bartolomeus de Soisa tahun 1651.
Ekspedisi Spanyol di Minahasa
Molsbergen dalam Geschiedenis van de Minahasa (1829) menjelaskan, ekpedisi awal Spanyol ke pedalaman Minahasa dilakukan dari teluk Amurang. Dari Uwuren, orang-orang Spanyol bergerak ke Cali (Kali), wilayah Tombatu kini. Sebuah desa yang disebut dekat danau bernama Wasian Uwuren atau Tonsawang. Tempat yang ketika itu terkenal sebagai salah satu daerah penghasil padi terbesar di Minahasa.
Dalam ekspedisi lain, orang-orang Spanyol menyusuri sungai Rano I Apo atau Ranoyapo(air dari Tuhan). Dari Amurang mereka menjelajahi daerah pegunungan Motoling dan tiba di Pontak. Di daerah ini, mereka juga mendapati hasil beras yang melimpah. Tak heran, tim ekspedisi Spanyol itu membangun gudang beras di Pontak.
Wilayah Selatan Minahasa sudah melimpah dengan beras ketika orang-orang Spanyol masuk ke tanah ini. N. Graafland dalam De Minahasa, Haar Verleiden en Haar Tegenwoordige Toestand (1869) menyebutkan, ketika ia datang tahun 1800-an, ia diberitahu penduduk wilayah Motoling bahwa mereka masih meyaksikan lesung-lesung batu tempat menumbuk beras peninggalan Spanyol.
Tak hanya merayapi wilayah Motoling dan Tonsawang, orang-orang Spanyol masih terus melanjutkan ekspedisi Minahasa. Jalur pegunungan menuju utara coba dijajal. J.G.F Riedel menulis, ketika itu mereka melewati Tombasian, Wanua Wangko atau Kawangkoan, terus ke daerah Tombulu-Katinggolan atau Woloan Tua, turun ke Kali Pineleng dan kembali ke dataran Wenang. Saat kembali ke Wenang, orang-orang Spanyol mulai mendirikan benteng, membangun perkampungan. Orang Tombulu menyebut perkampungan mereka dengan Winaror ni Tasikela.
Kehadiran orang asing itu ternyata sangat mengusik masyarakat Minahasa. Apalagi yang mendiami wilayah pegunungan. Sejak awal para raindang wu’uk (rambut merah) tidak diterima. Tidak mengherankan jika dalam ekspedisi awal, banyak tantara Spanyol tewas. “Diambil” para waraney (ksatria Minahasa). Sisa-sisa pelindung kepala dan senjata yang dirampas para waranei di masa itu masih bisa dilihat saat ini. Peralatan perang berusia ratusan tahun tersebut sering digunakan para penari kawasaran.
Pater Blas Palomino dalam Surat Laporan dari Manado 8 Juni 1619 mengisahkan, 4 Februari tahun 1619 mereka meninggalkan Manila dan mendarat di Manado pada bulan Maret. Saat itu, komandan pasukan Spanyol di Manado langsung mengundang para Ukung (Kepala Kampung) dan membicarakan rencana kerja para misionaris ini. Para Ukung dengan sangat hormat mengundang mereka masuk ke daerah pedalaman. Namun tak ada satu kampung pun yang mau menerima Pastor Blas Palomino, Diego de Royas dan Bruder Juan de S. Mernardino.
Para misonaris ini sempat tinggal di Manado sampai tahun 1622 sampai akhirnya memutuskan berangkat ke Makasar. Bulan Agustus tahun 1622, dari Makasar mereka bermaksud ke Maluku. Singgahlah mereka di pantai utara Minahasa. Dengan kawalan ketat para serdadu Spanyol, tim misionaris ini kembali berusaha menjumpai para penduduk. Naas, Pastor Blas Palomino dan penerjemahnya Joao da Palma ditombak masyarakat setempat. Di Madrid Spanyol, 2 Juni 1627, Pedro de la Conception mengungkap dalam Catatan Hariannya 10 Agustus 1622, dengan mata kepalanya ia menyaksikan langsung kematian tragis Pastor Blas Palomino dan Joao da Palma itu.
Kisah heroik Tou Minahasa Menaklukan Spanyol
Kisah ini terjadi seputar tahun 1651 – 1664, ketika Tou Minahasa menghadapi musuh bersama, yakni Spanyol (dikenal orang Kastela) yang berusaha untuk menjadikan tanah Minahasa sebagai daerah koloni alias daerah jajahan. Berdasarkan catatan sejarah, perang yang berlangsung selama satu dekade lebih, berdasarkan data historis dan diakui oleh nara sumber yang berkompeten, perang dimenangkan oleh para Waraney waraney Minahasa (pasukan adat/milisi), di mana orang-orang Kastela (Spanyol) tersebut berhasil dipukul mundur dan lari ke Filipina.
Peristiwa Tou Minahasa melawan Spanyol pernah dikomentari oleh Pastor J. Van Passen (dosen filsafat ST Filsafat Pineleng Minahasa), dikatakan “terjadinya perlawanan Tou Minahasa terhadap pasukan Spanyol, karena adanya golongan Mestizos yang telah menjadi ‘provokator’ mengobarkan perang mengusir Spanyol dari Minahasa di tahun 1664 tersebut. Golongan Mestizos adalah campuran Tou Minahasa dengan Portugis-Spanyol (lihat Wenas 2000:45; Sinolungan 2002; Supit 2004:163; Kusen 2007).
Demikian juga isu kekalahan Spanyol pernah dikemukakan oleh Ketua Umum Komunitas Sejarah Indonesia (KSI)/Ketua Badan Sensor Film Indonesia (BSF) Dr. Muklis Paeni pada acara Temu Guru-Guru Sejarah se-Sulawesi Utara pada tahun 2010 lalu dihadapan ahli-ahli sejarah nasional, salah satunya adalah Prof.Dr AB Lapian, dikatakan “salah satu Bangsa di Asia yang pernah mengalahkan bangsa Spanyol adalah Bangsa Minahasa”.
Latar Belakang Terjadinya Perang
Singkatnya, pada tahun 1615, Raja dari suku Babontehu mengundang Panglima Lucas De Vergara untuk berkunjung ke Manado. Yang diutus adalah dua orang Pater bernama Sciallamonte dan Cosmas Pintto. Seperti juga bangsa Portugis yang lebih awal mengunjungi Tanah Minahasa, demikian juga bangsa Spanyol, tujuan utamanya adalah menyebarkan agama Kristen-Katolik, dan dibarengi dengan tujuan perdagangan, mengingat hasil bumi di Tanah Minahasa kaya dengan rempah-rempah yang akan dijadikan komoditas perdagangan.
Mengingat, kedatangan orang-orang Kastela ini relatif lama akan tinggal di Tanah Minahasa , maka pada tahun 1617 dibangunlah sebuah benteng didekat sungai Manarow (Manado) sebagai tempat pemukiman, penampungan bahan-bahan perdagangan sekaligus dijadikan sebagai benteng pertahanan dari ancaman musuh baik dari pihak sesama bangsa kulit putih (Portugis, Inggris dan Belanda) maupun dari pihak pribumi Minahasa. Dan pada tahun 1619, penghuni orang Kastela di benteng tersebut bertambah sehubungan dengan kedatangan orang-orang Kastela yang lari dari Filipina menyelamatkan diri dari kancah peperangan di sana.
Berdasarkan data kepustakaan (lihat Henley 1996:31) dalam Gosal (2010) pemerintah kerajaan Spanyol semakin tertarik untuk menancapkan kuku kolonialismenya di Minahasa, karena tertarik dengan jenis makanan pokok Tou Minahasa , yaitu kebiasaan suku Tondanouw memakan nasi dari tanaman padi atau gabah. Sejak saat itu, mulai diadakan hubungan perdagangan dengan pemimpin pemimpin adat di Minahasa (Ukung Oki). Berdasarkan hasil musyawarah dengan tetuah adat lainnya, diperkenankanlah untuk mengadakan kegiatan pembelian hasil bumi.
Merasa kegiatan berdagang dengan pribumi Minahasa secara signifikan menguntungkan pihak Spanyol, maka pada tahun 1623 Raja Spanyol memerintahkan untuk membuat kapal niaga yang bernotasi besar untuk mengangkut komoditas hasil bumi dari tanah Minahasa. Maka sejak benteng di Manado direhap sedemikian rupa menjadi lebih besar yang dilengkapi dengan senjata meriam berkaliber lebih besar (9 mm), maka hal ini mempengaruhi posisi Spanyol semakin lebih kuat. Sementara bangsa asing lain seperti Portugis semakin melemah yang pada akhirnya meninggalkan Tanah Minahasa (Catatan: beberapa orang Portugis yang sudah menetap di pelosok Minahasa dan mungkin sudah kawin mawin ada yang tetap bermukim berbaur dengan Tou Minahasa).
Perang Pertama (1651). Oleh karena merasa kehadiran Spanyol di Minahasa semakin mendominasi, maka mulailah muncul ekses konflik dengan Tou Minahasa, terutama perlakuan oknum-oknum militernya yang dinilai oleh tetuah adat Minahasa sudah melanggar kesepakatan, seperti melakukan pemaksaan, perampasan/perampokkan hasil pertanian penduduk setempat bahkan ditunjukkan dengan kelakuan biadab seperti penganiayaan dan pemerkosaan terhadap perempuan (wewene) Minahasa.
Dan yang paling dianggap penghinaan terhadap jati diri Tou Minahasa adalah pihak Spanyol mewajibkan kepada Tou Minahasa harus membayar upeti alias pajak kepada mereka. Akibatnya, marahlah Tou Minahasa yang diwakili oleh para Ukung untuk segera melakukan konsolidasi umum untuk melawan perlakuan biadab bangsa Spanyol tersebut. Diperintahkan kepada semua laki-laki dan perempuan mengangkat senjata memerangi orang-orang Kastela tersebut. Seperti dikemukakan bahwa perang pertama ini dengan gemilang berhasil dimenangkan oleh waraney-wulan Minahasa. Beberapa perwira militer Spanyol yang dibunuh, kepala mereka di pajang dipinggir pantai sampai menjadi tengkorak (Catatan: bagi Tou Minahasa ini adalah simbol kemenangan perang). Sepeninggalan Spanyol, mulai saat itu Tou Minahasa sudah mengenal senjata api dan menggunakan meriam.
Perang Kedua (1654). Kedatangan Spanyol ke tanah Minahasa, disambut oleh para Ukung setempat, dengan syarat agar apa yang pernah dilakukan oleh orang-orang Spanyol waktu lalu tidak diulang kembali. Tapi, ternyata bangsa kastela ini tidak jera atas kekalahan yang pernah diderita pada tahun 1651. Kali ini yang memimpin Spanyol ke Tanah Minahasa adalah Bartolomeo De Soisa langsung menduduki kampong Uwuran Amurang, dengan maksud untuk menguasai kembali produksi beras dan hasil bumi lainnya, terutama dari Tondanouw dan Pontak (lihat Supit 1986:31).
Achilles Meersman dalam The Franciscansin the Indonesian Archipelago (1967) mengungkapkan jika tindakan itu telah membuat kebencian orang Minahasa terhadap orang-orang Spanyol semakin mendalam. Ia menulis, saat Pastor Juan Yranso dan Bruder Francisco de Alcala Lorenzo Gerralda tiba di Manado tahun 1639, mereka menyaksikan langsung kondisi pahit itu. Inilah yang membuat para misonaris tersebut harus menghadapi tantangan luar biasa untuk masuk ke daerah pedalaman Minahasa.
Singkatnya, pada perang kedua ini, Tou Minahasa sama sekali tetap pada pendirian yakni tidak pernah kompromi dengan kelakuan biadab Spanyol terhadap penduduk setempat (rampok dan perkosaan). Dan pada tahun 1654 diadakanlah musyawarah di bukit Wawo dengan menghasilkan keputusan untuk meminta bantuan kepada bangsa Belanda yang berada di Ternate. Utusan Tou Minahasa ke Ternate (wilayah kekuasaan Belanda) adalah Ukung Lontoh , Ukung Supit dan Ukung Paat yang. Akan tetapi, armada Belanda yang dipimpin oleh Paulus Andriessen mengalami kekalahan di laut dari armada Spanyol ketika sedang menuju Tanah Minahasa. Akibatnya superioritas Spanyol terhadap Tou Minahasa semakin mendominasi.
Hal yang mendorong pihak Belanda ingin membantu pasukan waraney-waraney Minahasa adalah karena dahulu Belanda pernah di jajah oleh spanyol dan kaget terpukau mendengar bahwa Tou Minahasa pernah mengalahkan Spanyol yang merupakan Negara Adidaya Adikuasa ketika itu,dulu Belanda pun harus berjuang selama 80 tahun supaya bisa merdeka dari spanyol.Maka Tou Minahasa melalui para pemimpinnya mengijinkan Belanda mendirikan benteng di Manado. Atas persetujuan Gubernur Belanda Jacob Hustaard di Ternate yang diserah terimakan kepada Simon Cos untuk memimpin pasukan Belanda masuk di pelabuhan Manado, kemudian mendirikan benteng yang dikenal dengan nama “De Netherlandsche Vastigheit”.
Pendirian benteng tersebut mendapak reaksi keras dari Spanyol karena menganggap pihak Belanda telah melanggar perjanjian Munster (1648), berakhirnya perang Spanyol-Belanda. Tapi, pihak Belanda tak bergeming, bahkan menambah kekuatan militer yang didatangkan dari Batavia diangkut oleh kapal Moluco dan Diamant, tiba di manado dan langsung memberi ultimatum kepada pasukan Spanyol agar segera meninggalkan Tanah Minahasa.
Ketika itu, Kerajaan Bolaang Mongondow yang telah lama bermaksud menguasai wilayah dan penduduk Minahasa, ikut membantu Spanyol. Pasukan mereka menyatu dan menyerang di berbagai tempat. Upaya untuk membendung dan menghalau kekuatan gabungan pasukan Spanyol dan Bolaang Mongondow akhirnya tercipta di seluruh wilayah Minahasa.
Perang Lintas Walak Minahasa dengan Pasukan Spanyol (1661-1664). Meskipun, orang-orang Kastela ini telah keluar dari Manado, namun di daerah-daerah tertentu lolos dari pengawasan Belanda yang sudah menduduki Manado dan sekitarnya. Seperti kemunculan pasukan Spanyol di Kema, Tomohon, Tondano, Tonsea dan Amurang yang dijadikan markas. Perangai biadab kembali dipertontonkan, seperti biasa yakni merampok hasil bumi, dan aksi kekerasan maupun pemerkosaan terhadap perempuan Minahasa.
Perlawanan Walak Tomohon. Sebagaimana juga yang terjadi di kawasan Tombulu/Tomohon. Sebagai reaksi Tou Minahasa atas perlakuan biadab bangsa Spanyol ini, penduduk Tomohon yang dipimpin oleh Ukung-Ukung setempat melakukan aksi perlawanan, dan pecahlah perang dahsyat dengan Spanyol dan berhasil memukul mundur keluar dari kawasan wilayah adat Walak Tombulu. Tapi, pasukan Spanyol berhasil menculik putri Ukung Tombulu yang bernama Tendenuata. Menyadari bahwa putrinya sudah diculik, segera ia memerintahkan waraney-waraney Tombulu untuk mengejar pasukan Spanyol terutama untuk mendapatkan kembali putri kesayangannya. Hasil pengejaran berhasil membunuh beberapa perwira Spanyol dan mendapatkan kembali putri Ukung Tombulu dengan selamat.Di bawah pimpinan panglima perang Posumah, anak tertua Ukung Lumi, para waraney yang sigap langsung mengejar dan mengepung pasukan Spanyol di lereng Gunung Empung, daerah utara Kelurahan Kinilow Tomohon kini. Secepat kilat santi(pedang) para waraney menebas leher serdadu-serdadu Spanyol yang telah terkepung. Bedil dan sable dalam genggaman tak sempat diayunkan. Sebagian tak sempat bergerak karena wengkou (tombak) para waraney telah menancap di jantung. Teriakan “I Yayat u Santi” menggema. Tak satu pun tantara Spanyol yang dapat menyelamatkan diri dari peristiwa itu. Tak ada yang berhasil kembali ke benteng mereka di Wenang."Sekali tebas, kepala serdadu Spanyol langsung terpisah dari badan. Tubuh mereka kemudian dicincang sampai halus hingga daging dan tulangnya menyatu dengan tanah. Orang Minahasa menyebutnya totoken. Sebuah hukuman bagi pengkhianat, bagi orang yang merendahkan martabat Ukung".
Perlawanan Walak Toulour. Spanyol yang berhasil masuk ke wilayah adat Walak Toulour dibuat murkah atas sikap Ukung setempat yang bernama Mononimbar. Terutama tidak mau menuruti perintah untuk mengumpul hasil tanaman padi dan diberikan kepada Spanyol, meskipun sudah dibayar. Melalui strategi licik orang-orang Kastela tersebut, yakni salah seorang bernama Pedro Alkasas berhasil memperdayai Mononimbar melalui minuman keras (whisky). Dalam keadaan mabuk Mononimbar ditangkap dan diikat pada sebatang pohon hingga tewas. Mendengar pemimpin walaknya sudah tewas, bangkitlah kemarahan orang-orang Tondano, kemudian dengan semangat berani mati, diperangilah orang-orang Kastela ini. Daya tempur dari pihak waraney Tondano yang cukup mematikan, berhasil membuat pasukan Spanyol mundur dan lari ke kawasan pantai timur Minahasa (Tondano Pante). Sejak saat itu, Spanyol kapok kembali ke Tondano.
Perlawanan Walak Tonsea. Pasca kekalahan dari walak Tondano, ternyata pasukan Spanyol tetap bersikeras untuk menguasai Minahasa bagian utara, yakni walak Tonsea. Tepatnya di kawasan Sawangan. Bersama dengan pasukan dari Tidore berhasil membunuh seorang Walian yang sedang mengadakan upacara – ritual Poso. Beberapa perempuan berhasil ditangkap dan dijadikan budak. Kemudian bersama dengan pasukan Bolaang Mongondouw dan ditambah dengan pasukan Tidore, pasukan Spanyol mememerangi walak Tonsea di pantai Kaburukan. Tapi, waraney-waraney Tonsea tidak gentar menghadapi jumlah pasukan Spanyol dalam jumlah yang banyak. Beberapa Teterusan (panglima perang), antara lain Rumopa Porong, Wenas, Dumanau, Lengkong, dan Wahani yang menjadi pemimpin perang, berhasil menghancurkan pasukan Spanyol. Dengan kata lain, pasukan Spanyol dan sekutunya mengalami kekalahan, dan dengan sisa-sisa pasukan yang masih hidup lari meninggalkan pantai Kaburukan.
Perlawanan Walak-Walak Tonsawang, Tombasian dan Temboan di Amurang. Oleh karena jarak antara Filipina dan Minahasa relative dekat, maka pihak pasukan Spanyol yang sudah berkali-kali mengalami kekalahan dengan waraney-waraney Minahasa, tidak pernah surut nafsu kolonialismenya untuk kembali ke Tanah malesung Minahasa. Tepatnya, pada tahun 1664 mereka kembali berlabuh di Amurang lengkap dengan jumlah pasukan yang lebih banyak. Seperti tujuan semula, adalah untuk menguasai perdagangan hasil bumi dengan Minahasa, khususnya dari Pontak dan Tonsawang.
Bagi orang Spanyol yang merasa sebagai perintis peradaban melalui misi keagamaan, ternyata masih menunjukkan perangai kebiadaban terhadap kaum pribumi Minahasa. Kali ini waraney-waraney Minahasa yang dipimpin oleh panglima-panglima perang yang tangguh (Teterusan), antara lain Ukung Oki dan suaminya Londe, Lelengboto, Pongulu, Koba, Mororongan, Gandey, Pondolos, Ratumbanua, Karema Urei,. Otombuat, dan Tenden Wulan. Dan Teterusan–teterusan dari Tombasian dan Temboan adalah Rumokoy, Worotikan, Tumiwa, Raranta, Mamarimbing, Sangian + Wawu Kineke, Kendang Wulan, dan Lingkan Wene.
Dalam pertempuran melawan pasukan Spanyol, berlangsung sampai tahun 1664, diperkirakan puluhan pasukan/perwira ditawan dan ratusan terbunuh, sisanya (termasuk beberapa Pastor) melarikan diri bersama armada laut yang dinakhodai oleh Bartholomeo de Sousa, menuju Filipina.
Dalam tulisan Achilles Meersman, Pastor Juan Yranso mengaku telah menjadi saksi mata dari peristiwa 10 Agustus 1644 itu. Kebaikannya, sikapnya yang getol membela masyarakat Minahasa, membuat ia dicintai dan mampu lolos dari perisiwa itu. Sejak Agustus 1644 sampai April 1645 ia berlindung di biaranya. Atas bantuan orang-orang Minahasa, ia akhirnya dapat meninggalkan Minahasa menuju Filipina hingga boleh menjadi saksi hidup peristiwa itu.
"Waktu itu Pastor Juan Yranso tinggal di rumah Ukung Lumi. Karena itulah ia selamat walau semua orang Spanyol sedang dikejar untuk dibantai. Sebab dalam masyarakat Minahasa, tamu itu berada dalam perlindungan dan tanggungjawab makawale atau pemilik rumah. Tidak ada seorang pun yang bisa menyentuh satu helai rambut mereka. Keluarga Ukung Lumi yang kemudian menyusupkan Pastor Yranso subuh hari sampai ke tempat persembunyiannya di daerah Lotta Pineleng".
Pastor Juan Yranso mengisahkan, sebenarnya di Tomohon ia telah berulang kali melerai konflik antar masyarakat dengan para serdadu Spanyol dan panipagos karena perkosaan dan pemerasan. Namun, peristiwa 1644 itu telah membawa kemarahan masyarakat Minahasa ke titik puncak. Ketika kasus penghinaan Ukung Lumi, ia masih sempat berhasil meredam amarah keluarga Ukung Tomohon itu. Tapi tanggal 10 Agustus 1644, sepuluh ribu ribu waraney dari 3 Distrik – A.B. Palar memperkirakan Toumuung, Kakaskasen dan Sarongsong – telah berkumpul, bangkit memaklumkan perang. Hari itu juga 19 serdadu Spanyol dan panipagos terbunuh dan 22 orang ditawan.
Disebutkan, awalnya para waraney hanya memerangi tentara dan panipagos tapi dalam waktu singkat berubah menjadi perlawanan terbuka terhadap semua orang Spanyol tanpa kecuali, termasuk para misonaris seperti Pastor Yranzo.
Refleksi
Apa yang dikemukakan oleh Ketua Umum Komunitas Sejarah Indonesia (KSI) Dr. Muklis Paeni, bahwa salah satu bangsa di Asia yang secara historis mampu mengalahkan pasukan Spanyol (salah satu bangsa/negara adidaya pada waktu itu) adalah Minahasa, bukanlah cerita omong kosong. Tetapi, secara akademik (history) dapat dipertanggung jawabkan.
Nah, sebagaimana fungsi dari ilmu sejarah, salah satunya adalah sebagai sumber inspirasi, maka kisah heroik perlawanan Orang Minahasa terhadap Spanyol merupakan simbol kebanggaan tersendiri atas apa yang pernah dilakukan oleh leluhur Minahasa bahwa Spanyol yang dikenal sebagai salah satu kampiun bangsa kolonial pada waktu itu, ternyata mengalami pengalaman yang pahit, karena kehadiran bangsa ini di tanah Minahasa, tidak diberi kesempatan untuk memperpanjang waktu kolonialismenya sebagaimana yang dilakukan oleh kolonial Spanyol di dunia. Dengan kata lain, kolonialisme Spanyol di Tanah Minahasa hanyalah mitos.Alias Spanyol cuma datang singgah.
Penulis adalah Dosen Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Sam Ratulangi, Manado – Sulawesi Utara.
DAFTAR PUSTAKA
Gosal, Paulus A dan C.H Gosal (2010) Melawan Bangsa Spanyol. Dalam Tou-Minahasa: Dari Utara Sampai Malesung. Pemda Minahasa Induk.
Henley, David E.F (1996) Nasionalisme dan Regionalisme dalam Konteks Kolonialisasi Minahasa di Hindia Belanda Bagian Timur. Terjemahan. KITLV Press Leiden.
Kusen, Albert WS (2007) Antropologi Minahasa: Identitas & Revitalisasi. Buku Teks. Belum Diterbitkan.
Watuseke, Frans S (1968) Sejarah Minahasa. Manado: Yayasan Penerbitan Merdeka.
Wenas, Jessy (2007) Sejarah dan Kebudayaan Minahasa. Jakarta: Institut Seni Budaya Minahasa
ragam kisah lainya dengan kisah dotu lolong lasut
Dotu Lolong Lasut alias Ruru Ares lahir pada bulan November 1450 adalah seorang tokoh pendiri ‘ Wanua Wenang’ cikal bakal berdirinya Kota manado, dengan bergelar Kepala Walak/ Kepala Agama Wenang pada jaman itu, Dotu Lolong Lasut merupakan perintis dan membangun TUMANI negeri WENANG kemudian berkembang menjadi Kota Manado sekarang ini.
Dotu Lolong Lasut juga sebagai tokoh perjuangan yang berhasil mengusir penjajah dari Portugis untuk menjajah Wenang pada saat itu. Oleh karena itu nama Dotu Lolong Lasut tetap dikenang sepanjang masa oleh masyarakat Sulawesi Utara lebih khusus masyarakat Manado dan Minahasa.
Kegiatan wisata yang dapat dilakukan ditempat ini adalah untuk melihat dan mengenal sejarah berdirinya Kota Manado, Monumen Dotu Lolong Lasut dapat dilihat di pusat kota Manado tepatnya di dalam komplek Pasar 45.
beberapa catatan lain
Dari slagbom yg ada bisa dipastikan bahwa Penguasa Ares "Tombulu" turun dari Kinilow lewat Kamangta pada awal Tahun 1600 an,
H.U.T KOTA MANADO KE 398
( 14 JULI 1623 _ 14 JULI 2021 )
SEJARAH NAMA MANADO DAN TANGGAL
BERDIRINYA (HUT) KOTA MANADO
Nama Mula2 Manado Adl Wenang . Wanua
Wenang Didirikan Oleh Ruru Ares Yg Berge-
lar Dotu Lolong Lasut Yg Pd Wkt Itu Sbg Kepala Walak Ares . Dinamakan Wenang Krn T4 Pemukiman Byk Ditumbuhi Pohon Mawenang Atw Wenang .
Kmdn Datanglah Orang2 Tombulu Utk
Membuka Lahan Pertanian Di Sktr Wanua
Wenang Dan Oleh Orang2 Tombulu Diberi
Nama Wanan Zou' Yg Artinya T4 Yg Jauh .
Krn Jaraknya Yg Jauh Dari T4 Pemukiman
Maka Mrk Membuat / Mendirikan Popo' /
Terung Utk T4 Mrk Menginap Di Kebun .
Lama-kelamaan Nama Wanan Zou' Berubah
Menjadi Manan Ndou' Lalu Menjadi Manado.
Bangsa Eropa Yg Pertama Kali Datang Ke
Manado Adl Para Misionaris Dari Portugal
Pd Thn 1523 Dan Manado Mrk Sebut
Moradores . Bangsa Spanyol Dan Belanda
Menyebut Dgn Nama Manados .
Thn 1623 Nama Manado Mulai Resmi Digu-
nakan Dlm Dokumen2 Internasional Juga
Dlm Peta Dunia .
Thn 1682 Nama Manado Secara Resmi
Mulai Digunakan Mengantikan Nama Wenang.
Stlh Bangsa Portugal Berturut2 Bangsa
Eropa Yg Datang Ke Manado Adl Bangsa
Spanyol Thn 1524 , Belanda Thn 1657 Dan
Inggris Thn 1811 .
1 Juli 1919 Gub Hindia Belanda Menjadikan
Manado Sbg Staadgemeente Dgn Walikota
( Burgemesteer ) Frederik Van De Wetering.
Dan Sjk 9 Des 2020 Terpilih Walikota Manado
Yg Baru Yakni Andrei Angouw .
14 Juli 1624 Sec Resmi Ditetapkan Sbg HUT
Kota Manado Krn ;
Tgl 14 Diambil Dari Tgl 14 Feb 1946 Adl
Peristiwa Merah-Putih Di Manado .
Bulan Juli Diambil Dari 1 Juli 1919 Krn
Manado Menjadi Staatgemeente Yg Dikepa-
lai Oleh Seorang Walikota .
Thn 1623 Diambil Krn Nama Manado Mulai
Dikenal Dunia Internasional Pd Thn 1623 .
@Dari Berbagai Sumber (VECKYAUDYKOJONGIAN)
the minahasa by
1.Harry Kawilarang ke MAJELIS ADAT MINAHASA
10 Oktober 2019..
2.by christnadus roring WANUA KINILOW TU’A
3.buku grafland
4.by christnadus roring / Catatan: RIKSON KARUNDENG cerita gabungan masa kolonial
1.Harry Kawilarang ke MAJELIS ADAT MINAHASA
10 Oktober 2019.
Tomohon, Kota Tua Tanah Minahasa
Kota Tomohon sejak lama dikenal sebagai kota Pelajar dan juga kota kembang, telah melewati lintasan dan perjalanan sejarah yang sangat panjang. Berawal dari Muung, sebuah lokasi mataair di Kelurahan Matani Dua Kecamatan Tomohon Tengah.
Kota ini sangat terkesan bagi ilmuwan Natulis Inggris, Sir Alfred Wallace pada pertengahan abad ke-19. Dalam catatannya ia mencatat. “Pagi-pagi saya terbangun oleh suara merdu lagu-lagu gerejani anak-anak sekolah, Selelpas itu mendengar suara khotban pendeta di gereja. Seolah alam ikut menimati. Sekalipun saya tidak mengerti, tetapi saya tetap ikut mendengar sambil mqnikmati kofi panas dari kebun Sawangan yang letaknya tidak jauh dari kota. Juga menikmati kasava (eingkong panas. Sungguh rasa nikmat, Mendengar suara-suara gerejani ini, seolah berada di kampug saya di desa Usk, daerah Welsh, Llanbadoc, Britania”
Kisah pemburu yang gagal menombaki babi hutan buruannya, tapi kemudian memunculkan sumber mataair. Konon, ketika tombaknya dicabut, menyembur air deras dengan bunyi mendengung yang kemudian mencetus kata Muung, mengundang orang datang bermukim. Penduduknya membahasakan diri sebagai Tou (orang) Muung yang di masa berikutnya dikenal sebagai Tomohon.
Cerita rakyat mempercayai sang pemburu adalah dotu bernama Wawo Kumiwel, anak leluhur Minahasa pertama Toar dan Lumimuut. Maka bila demikian, usia Tomohon sudah benar-benar sangat tua. Kalau peristiwa pembagian di Watu Pinawetengan ditaksir penulis terkenal Dr.Johan Gerard Friedrich Riedel terjadi tahun 670 (meski ada menaksir berbeda-beda pula), maka penemuan mataairnya masih mendahului, sehingga menjadikan Tomohon sebagai kota paling tua yang ada di Tanah Minahasa.
Cerita-cerita Tombulu banyak menegas keberadaan Toar-Lumimuut dan anak-anaknya di kawasan Tomohon. Wawo Kumiwel yang disebut juga Rumuat ne Tewo bersama istrinya berdiam di Wawo dan juga Kuranga. Berikutnya, Pinontoan yang diagungkan sebagai penguasa Lokon bersama istrinya Ambilingan Wulawan bermukim di kaki gunung itu, Rumengan yang didewakan sebagai penguasa Mahawu bersama istrinya Katiwiei, tinggal di lembah gunungnya.
Cerita rakyat mempercayai sang pemburu adalah dotu bernama Wawo Kumiwel, anak leluhur Minahasa pertama Toar dan Lumimuut. Maka bila demikian, usia Tomohon sudah benar-benar sangat tua. Kalau peristiwa pembagian di Watu Pinawetengan ditaksir penulis terkenal Dr.Johan Gerard Friedrich Riedel terjadi tahun 670 (meski ada menaksir berbeda-beda pula), maka penemuan mataairnya masih mendahului, sehingga menjadikan Tomohon sebagai kota paling tua yang ada di Tanah Minahasa.
Cerita-cerita Tombulu banyak menegas keberadaan Toar-Lumimuut dan anak-anaknya di kawasan Tomohon. Wawo Kumiwel yang disebut juga Rumuat ne Tewo bersama istrinya berdiam di Wawo dan juga Kuranga. Berikutnya, Pinontoan yang diagungkan sebagai penguasa Lokon bersama istrinya Ambilingan Wulawan bermukim di kaki gunung itu, Rumengan yang didewakan sebagai penguasa Mahawu bersama istrinya Katiwiei, tinggal di lembah gunungnya.
Lololing dengan istrinya Winerotan, bermukim di Muung, Repi dan istrinya Matinontang dan Tontombene di Lahendong, Siow Kurur di Pinaras. Makalawang dan istrinya Taretinimbang di lembah Masarang dan Manaronsong yang mencetuskan nama Sarongsong.
Kemudian salah satu dotu terkenal Minahasa yakni Mandei bersama istrinya Raumbene dan anak-anaknya berdiam di lokasi yang sampai sekarang dikenal dengan nama Mandei, masuk kepolisian Kolongan Satu. Salah seorang anaknya bernama Reko bermukim lebih ke arah selatan, di tempat yang sekarang masih bernama Reko juga, sementara anak lainnya Porongnimiles pergi berdiam di Muung.
Pemukiman awal ini kemudian hilang, karena setelah pembagian di Watu Pinawetengan, penduduk suku Tombulu terpusat di Maiesu di lembah Gunung Lokon.
Masa pemerintahan Makiohloz (Makiohlor atau Ohlor), penduduk Maiesu bersebar. Berdiri tiga pemukiman besar Tombulu yang akan membentuk Kota Tomohon sekarang.
Tomohon didirikan oleh Tonaas Mokoagow, Sarongsong di Tulau didirikan Tumbelwoto, dan dari Sarongsong Kaawuan mendirikan Tombariri di Woloan sekarang. Makiohloz sendiri memindahkan Maiesu ke negeri baru yang disebut Kakaskasen.
Negeri awal Tomohon yang didirikan Mokoagow adalah Saru atau Tonsaru (menghadap timur) terletak di lereng Gunung Masarang. Pemukiman Tomohon mulai melebar dan penduduk makin bertambah, karena letaknya yang strategis. Segera berdiri negeri-negeri baru: Kamasi, Kinupit, Limondok, Sumondak, Tou un Maajah dan Lingkongkong yang memunculkan tokoh terkenal Tumalun yang mengalahkan Malonda dari Pareipei Remboken. Para pendirinya menurut Riedel adalah Mamengko, Pondaag, Gosal dan Sambuaga.
Letak beberapa negeri ini masih misterius, terkecuali Kamasi dipastikan di lokasinya sekarang, sehingga menjadi satu-satunya negeri yang namanya paling lestari di Tomohon. Limondok adalah bukit di Talete. Sementara Kinupit, bermakna terjepit, diperkirakan berada di seputaran Paslaten, serta Lingkongkong diduga di kawasan Matani Dua.
Negeri-negeri tua ini dipersatukan oleh cucu Mokoagow bernama Mangangantung dengan nama Tomohon, yang dimasa Kompeni Belanda menjadi Balak dan kemudian Distrik, seperti halnya dengan Sarongsong, Kakaskasen dan Tombariri.
Kemudian karena sebuah peristiwa yang tidak diketahui, entah karena terjadi peristiwa alam, gempabumi atau peperangan diperkirakan sebelum kedatangan bangsa barat penduduk negeri-negeri Tomohon berpindah dan hidup terkonsentrasi di Nimawanua Kolongan sekarang, terkecuali Kamasi dan Talete.
Kondisi inilah yang pasti ditemukan oleh Gubernur Maluku di Ternate Dr.Robertus Padtbrugge dalam kunjungannya di Manado tahun 1677 dan 1679. Dari catatan penduduk Minahasa oleh Opperhoofd (Residen) Manado 1682 yang dikutip oleh Francois Valentijn dalam Oud en Nieuw Oost-Indien, negeri Tomohon yang ditulis sebagai Tomon, adalah satu pemukiman (menyatu) dengan Kamasi yang ditulis Cormasje, dan berpenduduk sebanyak 800 awu atau sekitar 4.000 jiwa, sehingga Tomohon merupakan pemukiman terbesar di Tanah Minahasa yang seluruhnya berpenduduk 3.990 awu, atau sekitar 20.350 jiwa. Sementara negeri Talete yang terpisah dari Tomohon, dicatat sebagai Tontellete berpenduduk 80 awu, sekitar 400 jiwa.
Dicatat pula, Sarongsong yang ditulis Zeronson (Seronson) berpenduduk 70 awu atau 350 jiwa, Kakaskasen ditulis Cascasse 100 awu (500 jiwa) dan Tombariri (ditulis Tomberiere) 400 awu atau 2.000 jiwa.
Tombariri saat itu masih terkonsentrasi di Katingolan, negeri tua Woloan, sekarang di kelurahan Woloan Satu Utara. Kakaskasen di lokasi Nawanua, negeri lamanya, di kelurahan Kakaskasen Tiga sekarang, sementara Sarongsong masih di negeri tua, Amian Nimawanua-Tulau.
Talete dan Kamasi kemudian bergabung di kota lama Tomohon Nimawanua. Namun akhir abad ke-18, Tonaas Ransun dan Rosok keluar dan membuka Matani yang jadi negeri dipimpin Hukum Tua pertama Tololiu Palar 1805, Kamasi tahun 1805 dibawah Sangi dengan hukum tua pertama Tinaras di tahun 1846, dan Talete 1831 dibawah hukum tua Lukas Wenas.
Peristiwa gempabumi dahsyat 8 Februari 1845 kembali menyatukan penduduk Tomohon di Nimawanua, dan baru kembali setelah keadaan aman. Penduduk negeri-negeri stad Tomohon mendirikan Rurukan (yang telah dirintis sejak 1810 oleh Pangkey Posumah), dengan hukum tua pertama Loho Kaunang tahun 1848 (sekarang terbagi dua kelurahan), juga Kumelembuai 1858 oleh Hendrik Kapoh dari Talete yang jadi hukum tua pertama 1860.
Negeri-negeri lain yang dirikan penduduk Tomohon di masa lalu adalah Tataaran Dua, Suluan, Rumengkor dan Koka.
Tumatangtang, negeri tertua dari bekas Balak dan Distrik Sarongsong dipimpin hukum tua pertama di tahun 1846 Alexander Mandagi, sementara hukum tua pertama Lansot bernama Ombeng.
Negeri eks Distrik Sarongsong lain yang digabungkan adalah Lahendong (berdiri 1750 dibawah Mokalu Rondonuwu, dengan hukum tua pertama Alexander Lukas Wawo-Roentoe 1850); Pinaras (berdiri 1820 dibawah Sumendap Montolalu dan sebagai negeri dengan hukum tua pertama Jeheskiel Tulung 1875), serta Tondangow (berdiri 1785 dibawah Tonaas Mandey, dengan hukum tua pertama 1875 Karel Zacharias Wawo-Roentoe). Kemudian ditambah dengan Kampung Jawa yang dibuka Tubagus Buang 1850-an, dengan hukum tua pertama Djasmani Tabiman di tahun 1928.
Eks negeri lain dari Distrik Sarongsong seperti Rambunan dan Sawangan tahun 1908 digabung dengan Sonder.
Sedangkan Tataaran Dua dilepas Distrik Tomohon pada Tondano. Begitu pun Kembes dan negeri-negeri Suluan, Rumengkor dan Koka, diserahkan kepada Distrik Manado dan Tonsea.
Kemudian Oktober1909 sebagian besar wilayah eks Distrik Kakaskasen yang mencakup negeri-negeri Kakaskasen (sekarang empat kelurahan), Kinilow (sekarang dua kelurahan), Tinoor (sekarang dua kelurahan), bersama Kayawu dan Wailan; ikut digabungkan dengan Tomohon.
Kakaskasen adalah salah satu negeri tertua di Minahasa, namun hukum tua pertamanya Kawengian Lasut baru di tahun 1846. Kinilow pun menjadi salahsatu negeri paling tua Minahasa,( dari kinilow keluar dotu lolong lasut ).. dihadis di bangun ulang Makiohloz 1753 di lokasi sekarang, tapi baru diperintah seorang hukum tua Liuw (Supit) Kawulusan 1835.membangun manado dan yang lain ke arah seterusnya ) Tinoor didirikan 1800 oleh Purukan dan Pangkey, dan jadi negeri dipimpin hukum tua pertama Rundeng Purukan 1845.
Kayawu sendiri berdiri 1850 dibawah Paat, Surentu dan Ambei, serta Habel Wongkar 1859, namun baru dipimpin hukum tua pertama Jesayas Rompis 1860, sementara Wailan berdiri 1880 dipimpin Lefinus Lala, dan nanti jadi negeri 1895 dibawah hukum tua Johanis Sumendap (versi lain hukum tua pertama Ruland Polii di tahun 1900).
Terakhir Kota Tomohon telah diperbesar oleh sebagian besar wilayah eks Distrik Tombariri, ketika negeri Woloan (sekarang empat kelurahan), bergabung dengan Tomohon tahun 1929, dan paling akhir Tara-Tara (sekarang empat kelurahan) digabungkan tahun 1958.
Woloan tercatat sebagai negeri tertua di Minahasa pula dan sempat jadi ibukota pertama Balak Tombariri, berdiri kembali 1845 namun dikenal sebagai hukum tua pertama Fransiskus Kojongian baru 1870, sementara hukum tua pertama ketika bergabung Tomohon Jacob Poluan.
Tara-Tara didirikan 1701 oleh Tulong dan Kalangi, sedangkan yang menjadi hukum tua pertama Wilar di tahun 1809, dan hukum tua yang menggabungkan ke Tomohon 1958 Pieter Tangkuman.
Dari berbagai Sumber
Foto: Sir Alfred Wallace, naturalis Inggris, sekaliber Charles Darwin yang satu jaman pernah melakukan penelitan di Suawesi dan pernah berada di Tomohon pada 1856. Sketsa Tomohon pada 1839
ASAL MULA NEGERI KINILOW (KEADAAN AWAL)
Dotu-Dotu Malesung Minahasa telah menurunkan sejarah kepada seluruh turun-temurunnya bahwa, Opo Toar Lumimuut adalah nenek moyang mereka yang pertama Pendeta N. Ph. Wilken dan N. Graflaand telah menulis tentang penyelidikan sejarah kedatangan Opo Lumimuut ke Malesung antara lain: “Opo’ Lumimuut terhanyut dari Utara, lalu terdampar di pantai Barat Minahasa di suatu batu karang yang dinamai Batu Kapal di daerah Sapa (Kec. Tenga Kab. Minahasa Selatan sekarang)” Meski diketahui bahwa Opo’ Lumimuut tiba dipantai Barat Malesung, rupanya dibawa oleh air bah dunia, yang disebut oleh Dr. Riedels Zano Simezuk Wangko ” Un Nimei Lumenew Un Tanak Kapataran Itii, Akaz Wana Un Rawis Un Kentur Lokon, Rumengan [Mahawu]. Wo Un Soputan ltii. (air bah besar yang telah datang merendam dataran itu, sampai di ujung puncak-puncak gunung Lokon, Rumengan [Mahawu] dan Soputan itu.) Mula-mula keluarga ini berdiam disekitar Gunung Wulur Mahatus Kemudian berpindah ke sekitar Niutakan dekat Negeri Tompaso Baru sekarang Akhirnya mereka makin lama makin banyak, sehingga mereka mulai menyeban ke seluruh Malesung/Minahasa Mula-mula terdapat 25 keluarga yang menyebar antara lain keluarga Pinontoan dengan istrinya Ambilingan dengan 6 orang anak-anak yang datang kedataran Gunung Lokon. Keluarga inilah yang telah menurunkan suku Tombulu
PEMBAGIAN WILAYAH
Menurut penyelidikan Dr.J.F.G. Riedels, musyawarah itu berlangsung pada abad ke Vil (kira-kira pada tahun 670) Terpilih menjadi ketua. Tonaas Kopere dari Tompakewa Pembantu-pembantu ialah Muntu-untu dari Tombulu, dan Mandey dari Tonsea Dalam musyawarah itu. Malesung dibagi menjadi 4 wilayah, yaitu:
1. Daerah Tombulu 2 Daerah Tonsea
3. Daerah Toiour
4. Daerah Tompakewa
Sejak musyawarah itu pucuk pimpinan dipegang oieh Pasiowan Telu. Sesudah musyawarah, masing-masing berangkat menuju tempat yang sudah ditentukan Suku Tombulu menuju Utara di tempat yang bernama Meiesu dekat Kinilow Tu’a dipimpin oleh Tonaas Mapunpun, Belung dan Kekeman Suku Tonsea berangkat menuju tempat yang bernama Niaranan sebelah timur Tanggari, dari sana mereka berpindah ke Kembuan, di kaki gunung Kalabat . Suku Toulour berangkat menuju Atep dipimpin oleh Tonaas Singal Suku Tompakewa berangkat menuju ke barat laut menempati Kaiwasian sebelah Timur Tombasian sekarang Di kemudian hari ada suku lain masuk ke Minahasa dar bergabung dengan suku-suku Minahasa. Suku-suku itu ialah Suku Bentenan (Pasan Ratahan) Tonsawang fasal Mongondow) Suku Bantik.
PAKASAAN TOMBULU
Pada abad ke X suku Tombulu di Wanua Meijesu yang diperintah oleh Lumoindong putra dari Walian Pukul ditimpa wabah penyakit sampar yang menewaskan banyak penduduk. Oleh karena itu maka rakyat suku Tombulu terpencar dan keluar mencari pemukiman yang baru. Tempat- tempat yang dituju sebagai pemukiman baru antara lain dapat diuraikan sebagai berikut
1. Tonaas Tumbelwoto memimpin sebagian rakyat pergi tumani ke Wanua Tula’u hingga terbentuklah Walak Sarongsong
2. Sebagian rakyat berpindah ke Kinilow Tu’a. Tonaas Ka’awoan meninggalkan Kinilow Tu’a dan memimpin sebagian rakyat pergi ke arah barat ke suatu tempat yang terdapat rumput yang dinamai Wariri, sehingga akhirnya orang yang menetap disana dinamai Touwariri lalu sebutan tersebut akhirnya menjadi Tombarini Selanjutnya dari sana sebagian rakyat yang dipimpin oleh Walian Lokon Mangundap, Kalele, Apor, Karundeng, Kapalaan, dan Posuma mereka mendirikan negeri yang baru yang dinamai Katinggolan yang merupakan cikal bakal dari terbentuknya Wanua Woloan.
3. Tonaas Mokoagow juga meninggaikan Kinilow Tu’a dan pergi tumani ke Wanua Mu’ung dan Kamasi membentuk Walak Mu’ung (Tomohon)
4 Tonaas Ticonuwu dan Tuerah pergi tumani ke Wanua Kakaskasen membentuk Walak Kakaskasen.
5. Tonaas Lolong Lasut dan Ruru pergi tumani ke Wanua Wenang dan Ares membentuk Walak Ares.-
6 Dari Kinilow Tu’a beberapa taranak pergi tumani ke Wanua Kali – Dari sana Tonaas Alow pergi melintasi sungai Wenang utara, lalu tumani ke Wanua Kalawat atas membentuk Walak Kalawat Atas kemudian berubah menjadi Kalawat Maumbi
7. Dari Kalawat atas keluar Tonaas Kondoy. Wangko Saumanan pergi ke barat tumani ke Wanua Kalawat
Kaleosan, yang kemudian menjadi Wanua Ure, kini di sebut Komo luar. Kalawat Kaleosan ini kemudian menjadi Kalawat Wawa, ibu negeri Wanua Ure
8 Tonaas Kalengkongan beserta sebagian rakyat meninggalkan Kalawat atas dan Kalawat Wawa pergi tumani ke Wanua Likupang Menimbulkan Walak Likupang Jadi Pakasaan Tombulu’ telah pecah menjadi beberapa Walak. Tetapi pada abad ke XV, Tonaas Dotulong. Tidajoh Koagow dari Pakasaan Tonsea telah merampas Wilayah Dimembe, suatu Wilayah yang sangat luas sekali.
2.by christnadus roring
WANUA KINILOW TU’A
(Gambar ilustrasi)
Sewaktu Wanua Meijesu ditimpa penyakit, pada abad ke X, maka sebagian rakyatnya berpindah ke Kinilow Tua, tempatnya bukan di Kinilow sekarang tapi di daerah perkebunan terletak kira-kira 1 kilometer di sebelah Barat Kinilow yang dinamai NAWANUA (bekas negeri) Wanua Kinilow Tu’a inlah termasuk negeri yang tertua di Minahasa Wanua ini sudah ada sejak abad ke-X. Berdasarkan cacatan N. Graafland dalam bukunya Minahasa Masa Lalu dan Masa Kini (terjemahan Yoost Kullit) juga memperkuat akan hal ini, dengan ungkapannya ‘Kinilow saja rhormatleh oleh usianye beserta ingatan masa lalunya! Apa yang terjadi dengan dikau, kau namanya, sederhana! Ts yang dahulu sangat berkuasa dan begitu ditakuti! Tentang Kiniow Tua ini juga diperkuat oien catatan-catatan banwa Dotu Lolong Lasut pendiri Kota Wenang (Manado) adalah berasal dari Kinilow. Beliau hidup pada tahun 1400-1520. Dari Kinilow Tu’a ini juga telah keluar Tonaas- Tonaas yang pergi tumani negeri baru ke seluruh daerah Tombulu sampai ke Likupang daerah Dimembe. Kapan dan siapa yang mendirikan Wanua Kiniiow Tu’a ini tidak dapat diketahui dengan pasti karena perpindahan pada abad ke-X itu tidak diterangkan siapa pemimpinnya dan pada saat itu nenek moyang kita belum mengenal tulis menulis Arti kata Kinilow, menurut cerita rakyat diambil dari nama sebatang pohon kayu yang sekarang tidak terdapat lagi di desa kita (sudah punah) Sebutan lain Kinilow adalah. NIMOKAL, artinya menghalang misalnya kita duduk di tengah jalan, maka kita disebut Nimokal Un Lalan (menghalangi jalan). Konorn menurut cerita orang tua dulu bahwa jalanan besar (jalan protokol) pada saat itu melalui kolong rumah dari kepala suku/Kolano yang bernama: MAKIOGLoz
BANYAKNYA RAKYAT
Pada suatu saat Kolano MAKIOGLOZ ingin mengetahui jumlah rakyatnya, maka ia mengadakan penghitungan atau sensus penduduk. Tetapi pada saat itu mereka belum mengenal tulis menulis, maka dikumpulkannya rakyatnya tua muda dan anak-anak di suatu tempat lalu disuruhnya menghadap sebatang pohon kayu yang bernama KAIRİNTEK (kayu berdaun halus) Lalu mereka disuruhnya tepuk tangan serentak. sehingga daun-iaunnya gugur semua Kemudian mereka disuruhnya masing-masing tua muda dan anak-anak memungut sehelai daun tetapi daun- daun sudah habis masih banyak orang belum kebagian Lalu Kolano MAKIOGLoz memerintahkan supaya masing-masing tua muda anak-anak mengambil segenggam tanah lalu dibuang di depan mereka, maka setelah selesa terdapat timbunan tanah setinggi dapur (bukit kecil) yang dinamai orang NEI LOMBOK NE TOU KINILOW (dilempar oleh orang-orang Kinilow) Bukit kecil itu sampai saat ini masih terdapat di sebelah barat sekolah Seminari Kakaskasen Il Tomohon.
LUASNYA WANUA KINILOW TU’A
Luas dan besarnya Knilow Tu’a Itu, memanjang dari Utara ke Selatan kira-kira 2 km dan terietak kira-kira 1 km sebelah barat Kinilow sekarang yang dinamai NAWANUA (bekas negeri). Lokasinya mulai dari tempat bernama Zano Pasu’ sebelah barat Desa Kinilow, memanjang ke selatan sampai ke
sekolah Seminari di jalan Kayawu, Kaskasen ill Tomohon
WATAK DAN SIFAT RAKYATNYA
Watak dan sifat rakyatnya adalah pemberani. Suka berperang. Menurut cerita orang tua-tua terdahulu, mereka sering berperang dengan orang iviongondouw, Pareipei Tompaso, dan Bantik. Sebagai buktinya di hutan batu sebelah barat desa Kinilow sekarang, terdapat bamboo tambelang (bulu nasi) yang ruasnya panjang-panjang. Dan bambu itu diberi nama: Tambelang Ne Mongondouw (bulu orang Mongondouw). Kata orang tua-tua kalau orang mongondouw ini datang menyerbu Wanua Kinilow Tu’a dan bersembunyi di hutan batu itu mereka membawa bulu nasi itu dan bertumbuh disana. Dan apabila mereka menyerang Wanua Kinilow Tu’a. lalu diburu oleh orang-orang Kinilow mereka lari menuju ke jurusan Desa Kali. Maka kira kira 4 km dari Kinilow, terdapat suatu tempat nama Pinatuzaan (tempat menombak). Karena apabila mereka lari dan sampai di suatu ketinggian bernama: Tinengkol, jalanan akan menurun kira-kira 100 m sampai di Pinatuzaan. dari ketinggian inilah orang-orang Kinilow melepaskan tombak-tombak mereka kepada yang sedang beriari itu. Apabila ada di antara mereka yang terkena tombak lalu masih terus berlari, namun kira-kira 1 km dari situ mereka didapati sudah mati kehabisan darah. Mayat mereka ditaruh disemak-semak dan ditutup dengan rumput-rumput sehingga termpat itu diberi nama: “PINAHWUNBUNAN
AGAMA DAN KEPERCAYAAN
Sebelum injil masuk di MINAHASA nenek moyang kita sudah memeluk agama purba. Kepercayaan mereka adalah Polytheisme yang bersifat dinamisme animisme. Mereka percaya bahwa diatas segaia ilah/dewa ada suaiu kekuasan tertinggi disebut EMPUNG Wanako (Alah yang besar), ilah/dewa-dewa yang mereka puja adalah yang ari orang tua (Dotu-dotu) yang berpengaruh dan perkasa lalu meninggal. Menurut kepercayaan mereka, bahwa roh-roh mereka mendiami puncak gunung, batu besar, mata air, pohon-pohon besar dan lain-lain yang dianggap keramat Seperti kata mereka yang mendiami gunung Lokon adalah Opo’ Pinontoan, dan gunung Mahawu adalah Opo’ Rumengan Mereka juga percaya pada ilmu gaib, serta khasiat- khasiat kebendaan. Mereka juga percaya akan tanda-tanda dari burung-burung malam, atau siang, seperti Mahot, Kiek Gegegu, Mahkeke’kek, Kombatik dan lain-lain Juga terhadap pantangan-pantangan antara lain kalau mau jalan lalu ada wa’an (bersin). harus duduk sebentar. Kalau melawan atau sengaja maka bisa terjadi halangan di jalan. Mereka sangat ahli menentukan waktu untuk menanam padi dan jagung dengan melihat posisi letak bintang-bintang dan bulan pada waktu malam. Tradisi ini masih banyak terdapat dari kalangan orang tua, walaupun pada umumnya mereka telah memeluk agama Kristen. Mereka mengubur orang mati disi di dalam batu yang dipahat, mayatnya dliletakkan dalam posisi duduk Jalu ditutup dengan penutup dari batu pula – Kubur-kubur itu disebut
WANUA KINILOW WERU
Kira-kira pada abad ke XVIII, pada pemerintaharn Walak Kaparang rakyai Kiniow berpinidah dari Wanuä Kiniiow Tua ke Kiniow Weru (Kampung Kinilow yang sekarang) Mereka hanya terdiri dari beberapa keluarga yang pada umumnya masih bersaudara. Di kemudian hari sangat sulit bagı muda mudi untuk mencari pasangan hidup karena pada umumnya mereka masih ada ikatan keluarga (dalam bahasa sehari-hari disebut famili”), padahal tradisi menentukan bahwa anak-anak tidak diperbolehkan kawin kalau baru pada keturunan tingkat ketiga. Yang diperkenankan kalau sudah pada tingkat ke empat. Apabila hukum adat ini terpaksa harus dilanggar maka ada syaratnya ialah: Sawutan Un Tawaana. Kaapa Mahali Un Patitewel artinya apa yang menjadi tuntutan dar orang tua wanita tidak boleh ditawar-tawar lagi Apabila hukum ini dilanggar (tidak dipenuhi) maka ada akibatnya berupa bisa mendapat keturunan yang cacat atau yang lain-lain. Mungkin juga sedikitnya keluarga-keluarga yang datang di Kinilow Baru disebabkan lokasinya yang sempit karena diapit oleh dua buah sungai yaitu sungai Eris di sebelah timur dan sungai Zanopasuk di sebelah barat desa.
Catatan: RIKSON KARUNDENG
Oktober 1521, sejumlah armada yang memuat orang-orang Spanyol tiba di Tidore. Sebelumnya mereka tergabung dalam musafir penjelajah samudra Ferdinand Magelhaens. Sebagian rombongan kapal Spanyol ini kemudian memisahkan diri dari induknya dan berlabuh di salah satu tempat di Minahasa. Kisah itu digambarkan Hubertus van Kol dalam Uit onze Kolonien, Een Schakelstuk (1903). Catatannya merujuk pada surat Pater Antonius Narta di Maluku yang dituliskan tahun 1588.
J.G.F. Riedel menggoreskan dalam Het Oppergezag der Vorsten van Bolaang Mongondow over de Minahasa (1872) bahwa armada itu telah berlabuh di Kima. Penulis sejarah Minahasa, Hendricus Benedictus Palar dalam bukunya Wajah Lama Minahasa (2009) memperkirakan, kemungkinan besar tempat mereka mendarat adalah daerah Kima Kecamatan Molas Manado kini. Menurutnya, orang-orang Babontehu yang mendiami pulau-pulau di sekitar Manado-lah yang pertama kali berkomunikasi dengan armada Spanyol tersebut.
Orang Babontehu kemudian mengadakan persahabatan, melakukan barter, lalu memperkenalkan kepada pelaut-pelaut Spanyol itu sebuah pelabuhan yang sangat indah yaitu Tumpahan Wenang. Daerah yang tidak jauh Kima, lokasi mereka berlabuh. Di situlah muara sungai Wenang, tempat biasa orang-orang membuat garam di bawah pohon. Dari pelabuhan ini, jika menghadap ke barat akan tampak sebuah pulau yang bernama Manarow atau Manado yang kini disebut Pulau Manado Tua.
Masyarakat Babontehu memperkenalkan orang-orang Spanyol kepada masyarakat maka tana (pemilik tanah) sebagai orang-orang Tasikkela. Penduduk Tumpaan Wenang itu adalah taranak dari tanah Tombulu. Tapi maka tana tampak acuh tak acuh terhadap orang-orang Spanyol. Karena itulah armada itu berlayar terus ke arah selatan dan mendarat di Uwuren Amurang. Daerah teluk yang indah di Kabupaten Minahasa Selatan kini. Uwuren dijelaskan sebagai tempat orang membuat sagu.
Usai menurunkan awaknya, kapal itu balik kembali ke Tumpahan Wenang. Menanti para penumpang yang tengah melakukan ekspedisi di wilayah pegunungan Malesung. Sebutan untuk Minahasa di zaman itu.
Di Uwuren Amurang, kemudian hari dijadikan benteng oleh orang-orang Spanyol. Dari data yang ada, Palar memperkirakan jika benteng itu dibangun Laksamana Spanyol Bartolomeus de Soisa tahun 1651.
Ekspedisi Spanyol di Minahasa
Molsbergen dalam Geschiedenis van de Minahasa (1829) menjelaskan, ekpedisi awal Spanyol ke pedalaman Minahasa dilakukan dari teluk Amurang. Dari Uwuren, orang-orang Spanyol bergerak ke Cali (Kali), wilayah Tombatu kini. Sebuah desa yang disebut dekat danau bernama Wasian Uwuren atau Tonsawang. Tempat yang ketika itu terkenal sebagai salah satu daerah penghasil padi terbesar di Minahasa.
Dalam ekspedisi lain, orang-orang Spanyol menyusuri sungai Rano I Apo atau Ranoyapo (air dari Tuhan). Dari Amurang mereka menjelajahi daerah pegunungan Motoling dan tiba di Pontak. Di daerah ini, mereka juga mendapati hasil beras yang melimpah. Tak heran, tim ekspedisi Spanyol itu membangun gudang beras di Pontak.
Wilayah Selatan Minahasa sudah melimpah dengan beras ketika orang-orang Spanyol masuk ke tanah ini. N. Graafland dalam De Minahasa, Haar Verleiden en Haar Tegenwoordige Toestand (1869) menyebutkan, ketika ia datang tahun 1800-an, ia diberitahu penduduk wilayah Motoling bahwa mereka masih meyaksikan lesung-lesung batu tempat menumbuk beras peninggalan Spanyol.
Tak hanya merayapi wilayah Motoling dan Tonsawang, orang-orang Spanyol masih terus melanjutkan ekspedisi Minahasa. Jalur pegunungan menuju utara coba dijajal. J.G.F Riedel menulis, ketika itu mereka melewati Tombasian, Wanua Wangko atau Kawangkoan, terus ke daerah Tombulu-Katinggolan atau Woloan Tua, turun ke Kali Pineleng dan kembali ke dataran Wenang. Saat kembali ke Wenang, orang-orang Spanyol mulai mendirikan banteng, membangun perkampungan. Orang Tombulu menyebut perkampungan mereka dengan Winaror ni Tasikela.
Kehadiran orang asing itu ternyata sangat mengusik masyarakat Minahasa. Apalagi yang mendiami wilayah pegunungan. Sejak awal para raindang wu’uk (rambut merah) tidak diterima. Tidak mengherankan jika dalam ekspedisi awal, banyak tantara Spanyol tewas. “Diambil” para waraney (ksatria Minahasa). Sisa-sisa pelindung kepala dan senjata yang dirampas para waranei di masa itu masih bisa dilihat saat ini. Peralatan perang berusia ratusan tahun tersebut sering digunakan para penari kawasaran.
Periode Kedua Spanyol di Minahasa
Periode pertama Spanyol di Minahasa ada di masa 1520-1562. Di tahun 1562, Spanyol digusur Portugis dari perairan Maluku dan Sulawesi. Peristiwa itu terjadi terutama karena perjanjian Saragosa antara kedua bangsa. Karena itu Spanyol kemudian memusatkan kekuasaannya di Manila Filipina.
Sejarah melukiskan, tahun 1580 terjadi perubahan politik di Eropa. Negara adikuasa Portugis didera resesi ekonomi dalam negeri. Akibatnya, terjadi emigrasi besar-besaran warga Portugis ke kawasan-kawasan koloninya. Begitu kekuatan dalam negeri Portugis melemah, Spanyol melakukan serangan ke Portugis dan dengan mudah menaklukkan negeri itu. Tanah-tanah jajahan negara itu juga akhirnya satu per satu jatuh ke tangan Spanyol, termasuk negara penjajah lainnya seperti Belanda.
Spanyol dan Portugis akhirnya dipersatukan di bawah bendera Spanyol. Masa itu, kekuasaan Portugis di Maluku berakhir. Tahun 1617, serdadu-serdadu Spanyol kembali datang dan menetap di Manado. Namun pengalaman kehadiran mereka di masa awal masih tetap terjadi. Orang batasaina (orang Minahasa gunung) tetap mengacuhkan mereka. Para highlanders Minahasa tak mau bersahabat dengan mereka.
Pater Blas Palomino dalam Surat Laporan dari Manado 8 Juni 1619 mengisahkan, 4 Februari tahun 1619 mereka meninggalkan Manila dan mendarat di Manado pada bulan Maret. Saat itu, komandan pasukan Spanyol di Manado langsung mengundang para Ukung (Kepala Kampung) dan membicarakan rencana kerja para misionaris ini. Para Ukung dengan sangat hormat mengundang mereka masuk ke daerah pedalaman. Namun tak ada satu kampung pun yang mau menerima Pastor Blas Palomino, Diego de Royas dan Bruder Juan de S. Mernardino.
Para misonaris ini sempat tinggal di Manado sampai tahun 1622 sampai akhirnya memutuskan berangkat ke Makasar. Bulan Agustus tahun 1622, dari Makasar mereka bermaksud ke Maluku. Singgahlah mereka di pantai utara Minahasa. Dengan kawalan ketat para serdadu Spanyol, tim misionaris ini kembali berusaha menjumpai para penduduk. Naas, Pastor Blas Palomino dan penerjemahnya Joao da Palma ditombak masyarakat setempat. Di Madrid Spanyol, 2 Juni 1627, Pedro de la Conception mengungkap dalam Catatan Hariannya 10 Agustus 1622, dengan mata kepalanya ia menyaksikan langsung kematian tragis Pastor Blas Palomino dan Joao da Palma itu.
Kedatangan kedua orang-orang Spanyol ke Minahasa benar-benar penuh hasrat untuk meguasai dan mengeruk seluruh potensi ekonomi yang ada di tanah Malesung. Serdadu-serdadu Spanyol serta para mesticos (turunan campuran Spanyol-Minahasa) mulai bertindak brutal dan tidak manusiawi terhadap penduduk Minahasa. Achilles Meersman dalam The Franciscansin the Indonesian Archipelago (1967) mengungkapkan jika tindakan itu telah membuat kebencian orang Minahasa terhadap orang-orang Spanyol semakin mendalam. Ia menulis, saat Pastor Juan Yranso dan Bruder Francisco de Alcala Lorenzo Gerralda tiba di Manado tahun 1639, mereka menyaksikan langsung kondisi pahit itu. Inilah yang membuat para misonaris tersebut harus menghadapi tantangan luar biasa untuk masuk ke daerah pedalaman Minahasa.
Sementara, para mesticos semakin gila memeras rakyat demi “bos-bos” Spanyol-nya. Para serdadu tak kalah gila. Mereka semena-mena merampas apa saja dari penduduk bahkan memperkosa para perempuan. Bersenjata bedil, dengan menunggangi kuda, para serdadu memaksa masyarakat membawa beras mereka ke gudang beras Spanyol di Manado. Rakyat Minahasa tak segan-segan diperlakukan seperti hewan angkut. Bahkan ada tanah Ukung dirampas. Rakyat Minahasa dipaksa memenuhi semua kebutuhan beras Spanyol.
Kemarahan Tou Minahasa Memuncak
Praktek kekejaman yang diperagakan orang-orang Spanyol telah melampaui kesabaran tou (orang) Minahasa. Peristiwa-peristiwa yang memancing amarah rakyat telah menindih. Sejumlah kisah yang membakar semangat perlawanan tersimpan kuat dalam benak. Ingatan-ingatan itu terus meronta untuk lepas.
H.B. Palar mengisahkan, satu ketika tantara Spanyol di bawah pimpinan Don Pedro Alkasas tiba di daerah Tolour yang biasa ramai dikerumuni masyarakat. Mereka mengundang penduduk untuk turut bersantai. Ukung Mononimbar yang mulai menentang pedagang Spanyol ikut menghadiri undangan yang tampak ramah itu. Namun, tunggakan beras yang telah lama menumpuk rupanya dianggap Don Pedro sebagai kelalaian dan kesengajaan Ukung Tondano itu. Maka dalam keadaan lengah karena disodori alkohol, prajurit-prajurit Don Pedro menangkap Mononimbar dengan mudah. Ia diikat dan digantung di atas pohon tinggi hingga menjadi tontonan masyarakatnya sampai ajal menjemputnya. Peristiwa penghinaan ini sangat membekas di hati orang-orang Tondano.
Aksi brutal juga dilakukan sepasukan tantara Spanyol dan Tidore di tanah Tonsea. Saat sedang digelar sebuah foso (upacara keagamaan) di Sawangan, mereka membunuh semua Walian (pemimpin agama) yang hadir, menangkap dan menculik semua perempuan kemudian menjadikan mereka hamba sahaya di banteng Spanyol.
Di wilayah Tombulu, pemerkosaan hak-hak manusiawi tantara Spanyol memuncak dalam peristiwa yang menimpa keluarga Ukung Lumi. Rombongan pasukan datang bertamu. Mereka kemudian dijamu dengan penuh hormat oleh Ukung Tomohon, sosok Kelung um Banua (pelindung negeri) yang sangat dihormati dan disegani masyarakatnya. Seperti kejadian di Tondano, para prajurit menyodorkan alkohol kepada anggota keluarga Ukung Lumi, tanda balas budi terhadap keramahan keluarga. Setelah sempoyongan, mereka mempergunakan kesempatan itu untuk menculik dan melarikan putri Ukung Lumi bernama Tendenwulan.
Seluruh negeri seketika gempar mendengar kabar itu. Budayawan Minahasa Rinto Taroreh menyebutkan, di bawah pimpinan panglima perang Posumah, anak tertua Ukung Lumi, para waraney yang sigap langsung mengejar dan mengepung pasukan Spanyol di lereng Gunung Empung, daerah utara Kelurahan Kinilow Tomohon kini. Secepat kilat santi (pedang) para waraney menebas leher serdadu-serdadu Spanyol yang telah terkepung. Bedil dan sable dalam genggaman tak sempat diayunkan. Sebagian tak sempat bergerak karena wengkou (tombak) para waraney telah menancap di jantung. Teriakan “I Yayat u Santi” menggema. Tak satu pun tantara Spanyol yang dapat menyelamatkan diri dari peristiwa itu. Tak ada yang berhasil kembali ke benteng mereka di Wenang.
“Sekali tebas, kepala serdadu Spanyol langsung terpisah dari badan. Tubuh mereka kemudian dicincang sampai halus hingga daging dan tulangnya menyatu dengan tanah. Orang Minahasa menyebutnya totoken. Sebuah hukuman bagi pengkhianat, bagi orang yang merendahkan martabat Ukung,” ujar Taroreh.
Dalam tulisan Achilles Meersman, Pastor Juan Yranso mengaku telah menjadi saksi mata dari peristiwa 10 Agustus 1644 itu. Kebaikannya, sikapnya yang getol membela masyarakat Minahasa, membuat ia dicintai dan mampu lolos dari perisiwa itu. Sejak Agustus 1644 sampai April 1645 ia berlindung di biaranya. Atas bantuan orang-orang Minahasa, ia akhirnya dapat meninggakan Minahasa menuju Filipina hingga boleh menjadi saksi hidup peristiwa itu.
“Waktu itu Pastor Juan Yranso tinggal di rumah Ukung Lumi. Karena itulah ia selamat walau semua orang Spanyol sedang dikejar untuk dibantai. Sebab dalam masyarakat Minahasa, tamu itu berada dalam perlindungan dan tanggungjawab makawale atau pemilik rumah. Tidak ada seorang pun yang bisa menyentuh satu helai rambut mereka. Keluarga Ukung Lumi yang kemudian menyusupkan Pastor Yranso subuh hari sampai ke tempat persembunyiannya di daerah Lotta Pineleng,” tutur Rinto Taroreh.
Pastor Juan Yranso mengisahkan, sebenarnya di Tomohon ia telah berulang kali melerai konflik antar masyarakat dengan para serdadu Spanyol dan panipagos karena perkosaan dan pemerasan. Namun, peristiwa 1644 itu telah membawa kemarahan masyarakat Minahasa ke titik puncak. Ketika kasus penghinaan Ukung Lumi, ia masih sempat berhasil meredam amarah keluarga Ukung Tomohon itu. Tapi tanggal 10 Agustus 1944, sepuluh ribu ribu waraney dari 3 Distrik – A.B. Palar memperkirakan Toumuung, Kakaskasen dan Sarongsong – telah berkumpul, bangkit memaklumkan perang. Hari itu juga 19 serdadu Spanyol dan panipagos terbunuh dan 22 orang ditawan.
Disebutkan, awalnya para waraney hanya memerangi tentara dan panipagos tapi dalam waktu singkat berubah menjadi perlawanan terbuka terhadap semua orang Spanyol tanpa kecuali, termasuk para misonaris seperti Pastor Yranzo.
Perlawanan Total di Seluruh Tanah Minahasa
Perang terbuka sesungguhnya telah terjadi sejak awal kedatangan Spanyol di tanah Minahasa. Namun perlawanan semakin kencang terjadi di tahun 1642. Tahun 1644, tahap awal konfrontasi total di seluruh wilayah Minahasa meletup. Penghinaan terhadap para Ukung menjadi pemicu luapan dendam yang terpendam lama. Perang pun berkecamuk dimana-mana.
Di masa inilah terjadi pertemuan di Watu Pinawetengan. Pakasaan-Pakasan (wilayah yang terdiri dari sejumlah wanua/desa, yang masyarakatnya masih terikat pertalian darah) yang sebelumnya tercerai berai, bertempur mempertahankan wilayahnya sendiri-sendiri, kini menyatu. Mahassa (komitmen untuk menyatu) diikrarkan. Kata itulah yang kemudian berubah menjadi Minahasa. Kata yang menunjuk ke tanah dan tou yang mendiami wilayah Malesung.
Ketika itu, Kerajaan Bolaang Mongondow yang telah lama bermaksud menguasai wilayah dan penduduk Minahasa, ikut membantu Spanyol. Pasukan mereka menyatu dan menyerang di berbagai tempat. Upaya untuk membendung dan menghalau kekuatan gabungan pasukan Spanyol dan Bolaang Mongondow akhirnya tercipta di seluruh wilayah Minahasa.
Di tanah Tonsea, pertempuran dahsyat terjadi di Kaburukan (pesisir pantai daerah Batu Nona Kema) dan Kinawuudan. Para teterusan (pemimpin perang), seperti Rumaya-Porong, Wenas Dumanaw dan Lengkong Wahani, secara perkasa menghancurkan tantara gabungan Spanyol-Bolaang Mongondow di daerah sepanjang pantai Kema hingga Waleo dan sekitarnya.
Di Panasen dan lereng Lembean Tondano, teterusan Tawaluyan, Wewengkang dan Retor, memimpin para waraney Pakasaan Tolour dan mengalahkan pasukan gabungan di wilayah itu.
Di selatan Minahasa, koalisi Spanyol-Bolaang Mongondow menyusup dan menyerang pakasaan-pakasaan di wilayah itu. Tapi di lini timur daerah selatan Minahasa tersebut, Pakasaan Pasanbangko berhasil mengalahkan pasukan gabungan. Mereka dipimpin teterusan Pandey, Lengsangalu, Tombokan, dibantu waraney-waraney dari Pinantula dan Tompakewa yang dipimpin teterusan Mewengkan dan Sumondak.
Di tempat lain, induk kekuatan Tompakewa Matana’ai telah berhasil memukul mundur musuh-musuhnya sampai ke pantai Amurang. Mereka dibantu para waraney Pakasaan Tombulu yang dipimpin teterusan Lumi-Worotikan, Wongkar-Sajouw, Kalele-Kinupit dan Sungepupus. Di daerah ini pertempuran berlangsung lama karena pasukan Spanyol dan Bolaang Mongondow selalu mendapat dukungan segar dari pusat kerajaan Bolaang Mongondow. Sebab jalur antara Amurang dengan Bolaang Mongondow masih aman. Sementara, logistik tantara Spanyol mendapat sokongan dari Benteng Uwuren Amurang.
Hari pertempuran terus berkepanjangan. Pasukan Spanyol-Bolaang Mongondow tersudut di Amurang. Titik soal, mereka harus berhadapan dengan masalah pasokan logistik dari pusat kerajaan Bolaang Mongondow. Butuh waktu cukup lama sampai tiba di front pertempuran. Sementara, pusat kerajaan butuh tenaga lebih untuk dijaga. Karena pasukan Mahassa terus melakukan serangan balik hingga penetrasi jauh ke wilayah Bolaang Mongondow.
Persoalan lain, sungai Ranoyapo kian sulit diseberangi karena perahu dan rakit-rakit yang mengangkut pasukan Mahassa sudah menumpuk di sana. Benteng Uwuren berhasil dikepung dan pasokan logistik benar-benar tersendat. Karena jalur logistik dari wilayah Bolaang Mongondow telah dipotong.
Pertempuran terjadi selama beberapa hari di seberang sungai Ranoyapo. Pasukan Tompakewa, Tombulu dan Toudano atau Toulour secara bergantian maju menyerang.
“Jadi saat pasukan dari Tondano maju, pasukan Tumbulu kembali, pasukan Tompakewa atau Tontemboan berada di garis belakang menunggu giliran maju ke front. Begitu pasukan Tondano mundur, Tompakewa maju, pasukan Tombulu sudah berada di garis belakang front, menunggu giliran untuk maju ke medan pertempuran. Itu dilakukan trus menerus sampai pasukan Spanyol dan Bolaang Mongondow terpukul kalah,” terang Rinto Taroreh.
J.G.F. Riedel dalam buku Aasaren Tuah Puhuna ne Mahasa (1870) dan A.L. Waworuntu di De Oude Geschiedenis der Minahasa (1891) menilai, benih-benih awal untuk menyatu Pakasaan-Pakasaan di Minahasa sebenarnya telah tumbuh ketika waraney-waraney Tompakewa, Tombulu, Tonsea-Tondano membantu Walak Langowan melawan pasukan Bolaang Mongondow yang menyerang dari arah Pasan tahun 1606. Semangat Pakasaan-Pakasaan yang sebelumnya terpisah-pisah, akhirnya berkomitmen untuk mahassa. Keinginan untuk menyatu akhirnya benar-benar terwujud ketika kedatangan bangsa Spanyol kedua kali.
“Peristiwa ini menyadarkan tou Minahasa bahwa berpisah tidak baik. Sangat merugikan. Mereka harus menyatu agar kuat menghadapi segala bentuk ancaman yang datang ke tanah mereka,” tandas Rinto Taroreh.
Pastor Juan Yranzo memperkirakan, setelah ia berhasil meninggalkan Minahasa dan berlayar ke Filipina tahun 1645, perang antara pasukan mahassa melawan koalisi Spanyol-Bolaang Mongondow masih terus berkecamuk satu sampai dua tahun berikutnya.
Sementara, Mieke Shouten dalam Bibliographical Series, Minahasa dan Bolaang Mongondow 1800-1942 (1981) menulis, kekejaman para mesticos dan tantara Spanyol telah membangkitkan perlawanan hingga memaksa orang-orang Spanyol meninggalkan Minahasa tahun 1645. Bangsa adikuasa itu berhasil diusir oleh para waraney keluar dari tanah Minahasa.
H.B. Palar menulis, sesungguhnya semua derita akibat pelecehan martabat telah mulai dirasakan oleh generasi bani Lumimuut dan Toar sejak awal bangsa barat menginjakkan kakinya di tanah Minahasa. Semua derita itu telah menyusup ke dalam alam bawah sadar generasi ke generasi yang lama-kelamaan menjelma menjadi kekuatan terpendam yang kian dahsyat. Sepanjang waktu mereka menggerayangi seluruh wilayah Minahasa, mengumpulkan mata dagang yang sangat mereka dambakan. Masyarakat disiksa karena beras, komoditi eksport rebutan bangsa-bangsa asing. Beras yang menjadi lambang kemakmuran orang-orang Batasina telah berubah menjadi sumber malapetaka. (*)
Asal-muasal Manado menjadi Bandar niaga diperengahan Abad
Nama Manado mulai tercantum dalam peta dunia pada tahun 1541 oleh kartografer Perancis, Nicolas Desliens. Mulanya bukan dalam bentuk kota, tetapi nama sebuah pulau yang di kenal sekarang, Manado Tua. Kemudian pada 1590, Loco, seorang pelaut Spanyol menempatkan Manado sebagai nama laut. Terdapat banyak penafsiran oleh berbagai peneliti mengenai asal muasal nama ini. Dari penelitian G. Molsbergen diperoleh keterangan bahwa nama pulau Manado Tua mulanya disebut Manarow, asal dari bahasa Tontembuan, yang artinya "sesuatu yang terletak di seberang," yaitu pulau batu atau pulau gunung yang berhadapan langsung dengan tempat bernama Wenang. Nama wenang sendiri adalah nama jenis pohon yang dalam bahasa latin disebut: Macaranga Hispida.
Dari cerita legenda lingkungan Pakasaan Tombulu disebutkan bahwa Manado Tua disebut oleh dotu-dotu tanah "Wawo un Tewu," artinya, tanah atau pulau terapung diatas air. Penduduknya disebut "touw wawo un tewu," artinya, masyarakat yang tinggal di pulau terapung.
Penduduknya kemudian disebut sebagai Touw Babentehu yang bukan saja di pulau, tetapi juga penghuni pulau-pulau sekitar daratan Minahasa, yakni Talise, Bunaken, Bangka dll.
Penduduk di Manado adalah hasil pembauran masyarakat turunan Sangir dan Talaud, Bolaang-Mongondow dan Minahasa. Selain itu terdapat pula turunan asal kepulauan Maluku Utara, terutama Ternate dan Halmahera yang melarikan diri ketika pihak kesultanan memperluas agama Islam. Pemimpin dari masing-masing kampung disebut, "Kolano," istilah dari budaya masyarakat Moro di Mindanao (Filipina-Selatan). Tetapi kehidupan penduduk di Manado Tua tidak tenteram dari serangan bajak laut dari luar.
Selain pasukan kerajaan Bolaang Mongondow, juga dari bajak laut dari kepulauan Filipina. Para Kolano kewalahan mempertahankan diri hingga tercerai berai. Ada yang bermukim di kepulauan Sangir dan Talaud. Untuk mengatasi keadaan, para kolano menghubungi taranak Tombuluh di Wenang, daratan Minahasa guna memperoleh bantuan menyelamatkan penduduk Manado Tua.
Sebagai hasilnya, pihak Dewan Pakasaan Tombulu mengizinkan penduduk Manado Tua bermukim di daerah "Sindulang," di muara sungai Tondano yang disebut sungai Manado.
Manado mulai mekar sejak kedatangan musafir Spanyol dan Portugis dipertengahan abad XVI. Ketika Spanyol mulai mengembangkan program budaya kofi menggusur budaya minum teh di daratan Cina, Manado mendapat peranan sebagai pusat niaga. Penanaman kofi yang di ambil dari Amerka-Selatan dikembangkan di pedalaman Minahasa.
Sejak saat itu Manado mulai mendapat perhatian "orang Gunung" -sebutan penduduk asli Minahasa- terutama setelah dibangun sekolah-sekolah dan gereja oleh misionaris Katholik Portugis dan Spanyol. Berlanjut dengan pembangunan gereja-gereja Protestan dari misionaris-misionaris Belanda dan Jerman.
Manado kemudian menjadi daya tarik bagi kalangan masyarakat Cina hingga menjadi kota niaga. Masyarakat Cina dari daratan Cina Selatan mulai berdatangan, selain mendirikan pemukiman pecinan, juga mendirikan gudang kofi (kini Pasar 45) di pusat kota -yang membelakangi Benteng Fort Amsterdam. Benteng ini di dirikan pada 1673, tetapi hancur rata tanah oleh pemboman pesawat-pesawat tempur Jepang pada bulan Desember 1941 (dan semua puing-puingnya dibersihkan oleh Walikota Manado pada 1949-50). Pada 1819 di bangun kuil Buddha Ban Hian Kiong oleh para pemeluk agama Kong Hu Chu. Pemukiman ini juga diikuti oleh masyarakat pedagang turunan Arab dan mendirikan pemukiman Kampung Arab di pusat kota. Manado kemudian berkembang dengan masyarakat turunan Spanyol, Portugis, Belanda dan Jerman. Juga dengan kedatangan turunan Jawa, Banjar, Flores, Timor, Maluku hingga terbentuk masyarakat hitrogin dengan bahasa Melayu pasar (dialek Manado) sebagai bahasa pengantar. Pada 1854, jumlah penduduk Manado berkisar 2529 orang.
Diantaranya terdapat 291 turunan Eropa, 630 turunan Cina dan 1043 turunan Borgo (Indo-Eropa), selebihnya turunan Arab dan pribumi Minahasa. Hal ini terjadi karena Manado berfungsi sebagai pusat niaga untuk berbelanja dan bukan tempat pemukiman bagi pribumi yang tetap tinggal di pedalaman hinterland.
Pada 1845 Minahasa mengalami gempa bumi hebat, yang menghancurkan sebagian besar kota Manado. Dengan bantuan dari berbagai pihak, kota Manado dibangun kembali. Begitu indahnya hingga pada 1859, ahli botani terkenal dari Inggris, Alfred Wallace sangat terkesan dengan kota ini dengan bangunan-bangunan dan perumahan serba baru. Yang juga di kagumi Wallace adalah lagu-lagu Kristiani yang dilagukan oleh penduduk Minahasa dengan suara-suara yang amat merdu dan sangat terasa hingga suasana menjadi khusuk.
Bandar Niaga Manado bermula sejak Pertengahan Abad. Daerah pecinan di pusat kota Manado. Masyarakat pedangang Kofi dari Cina turu membangun kota Manado
Komentar
Posting Komentar